Headlines News :
Home » , , » Falsafah dan Doktrin Al Intisab

Falsafah dan Doktrin Al Intisab

Written By P U I on Jumat, Juni 28, 2013 | 11:09:00 AM

Oleh: Ahmad Djuwaeni

“Doktrin al Intisab merupakan hasil asimilasi antara teks
milik Thariqat Faidliyah itu dengan rumusan yang diprakarsai
KH. Abdul Halim dan beberapa Kyai di Majalengka Jawa Barat”

Peringatan Nuzul al-Qur’an tahun 1942, yang berlangsung di masjid dekat sungai Citangkurak, di kota Majalengka, menjadi momen penting bagi Persatuan Ummat Islam (PUI). Saat itulah doktrin al Intisab dicetuskan secara resmi oleh para pimpinan PUI. Sebelum dicetuskan, doktrin ini telah melewati perumusan-perumusan panjang yang melibatkan sejumlah ulama PUI.

Teks al Intisab sesungguhnya dikutip dari kitab al-Washiyyat al-Dzahabiyyat (Wasiat Emas) yang ditulis oleh Syaik Mahmud Abu al-Faidl al Manufi, seorang ulama Mesir, da’i pertama setelah Jamaluddin al-Afghany dan Muhammad Abduh. Beliau adalah pendiri Thariqat Faidliyah, suatu jama’ah yang aktif dalam bidang diniyah, shufiyah, ilmiah dan falsafah.

Doktrin al Intisab merupakan hasil asimilasi antara teks milik Thariqat Faidliyah itu dengan rumusan yang diprakarsai KH. Abdul Halim dan beberapa Kyai di Majalengka Jawa Barat. Secara harfiyah kata al Intisab dikutip dari ajaran Thariqat Faidliyah, sebagaimana tercantum dalam al Washiyat al Dzahabiyah, kitab pedoman thariqat tersebut. Teks aslinya berbunyi sebagai syuruth al Intisab yakni syarat-syarat keanggotaan/jama’ah).

Selanjutnya, al Intisab tersebut diformulasikan oleh KH. Abdul Halim dibantu para kyai lainnya, diantaranya: KH. Yasin Basyuni, KH. Ahmad Nawawi, KH. Djunaid Mansur dan KH. Abdul Wahab. Dengan merujuk kepada sumber-sumber dari al-Qur’an, al-Hadits dan beberapa kitab, diantaranya al-Washiyah al-Dzahabiyah, Muhammad Matsal al A’la dan Perikehidupan Muhammad SAW. mereka menambahkan seperti kalimat basmalah dan syahadat ke dalamnya.

Kalau kita cermati antara al Intisab yang dikumandangkan di Indonesia momentumnya ada kemiripan dengan al Intisab yang dikumandangkan dalam perjuangan ummat Islam di Timur Tengah. Sebab kitab itu pun ditulis pada akhir Perang Dunia Pertama (1921) dalam suasana menghadapi penjajah kolonial Barat.
Perlu diketahui pula bahwa Thariqat Faidliyah adalah suatu madzhab tasawuf yang prinsip aqidah dan ibadahnya bercorak ahlu sunnah wal jama’ah; berpola pada Salaf al Shalih (masa Rasulullah dan sahabat); pedoman dasarnya al-Qur’an dan as-Sunnah; dalam tata cara ibadahnya tidak menganut pada salah satu madzhab tertentu. Thariqat ini dapat disebut juga thariqat khalafi (modern) dimana para tokohnya adalah ulama harakah (pergerakan), pemikir, sufi, filosof dan saintis yang berbasiskan al-Qur’an dan al-Sunnah. Malah Al-Manufi sebagai pencetus thariqat tersebut pandangan siyasahnya menganut faham Pan Islamisme Jamaluddin Al-Aghgani dan mendahului prinsip-prinsip pandangan Hasan Al-Bana tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir.

Thariqat Faidliyah pun mempunyai tata cara dzikir yang diwirid oleh pengikutnya sebagaimana thariqat-thariqat lainnya. Namun konsep dzikir dan fikirnya dipahami sebagai sesuatu yang tidak dikotomi(tidak terpisah), memadukan empat misi thariqat tersebut yakni memadukan antara diniyah, shufiyah, ilmiah dan falsafiah; yang diikat dengan prinsip al Intisab. Tampaknya ini mirip dengan faham Ibn Qayyim al Jauziyyah, yakni “Dzikir dalam fakir, fakir dalam dzikir”.
Tampaknya prinsip tersebutlah yang mengilhami diletidakannya nilai dasar yang menjadi jati diri PUI, tercermin dalam rumusan tujuannya yang tertuang dalam AD/ART. Pada mulanya tujuan organisasi PUI sejak Muktamar pertama PUI tahun 1952, yaitu: “Terlaksananya Syari’at Islam Madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah”. Dalam perjalanan berikutnya kata “madzhab” dihilangkan menjadi “Terlaksananya syari’at Islam ahlu sunnah wal jama’ah”.

Bagi ummat Islam dan sebagian pimpinn PUI pada dekade 1970-1998, istilah syri’at Islam dianggap sebagai sesuatu yang dianggap ekstrim. Karenanya sebagian ummat Islam sendiri menjadi phobia dengan istilah tersebut. Maka PUI pun digiring untuk beradaptasi dengan selera penguasa dan situasi politik pada saat itu.

Falsafah dan Doktrin

Telah penulis kemukakan di atas bahwa al Intisab dapat diidentifikasi sebagai falsafah dan doktrin organisasi yang menjadi landasan untuk menentukan pola dan mekanisme amaliah bagi warga PUI untuk mencapai cita-cita dan tujuannya, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar PUI pasal 4 (hasil muktamar XI 2004). Al Intisab sebagai landasan amaliah diharapkan dapat memberi corak sifat amaliah warga PUI, baik dalam kegiatan berorganisasi maupun dalam kegiatan sehari-hari.
“Wawasan idealisme yang tercakup dalam dasar, tujuan dan doktrin amaliah (al Intisab) PUI, sampai saat ini merupakan satu-satunya asset jam’iyah (organisasi) yang masih utuh dan patut disyukuri, kendati pun penghayatan dan pengamalannya perlu segera ditingkatkan. Sementara aspek idiil yang diwariskan sejarah masa silam PUI diantaranya, semangat pembaharuan, kreatifitas, kemandirian, keikhlasan dan ketekunan beramal, pada saat ini terpaksa harus berulang kali dipertanyakan. Ishlah al Tsamaniyah (delapan perbaikan) sebagai strategi dasar kegiatan PUI formulasinya ternyata memiliki skala berdimensi ruang dan waktu yang nyaris tanpa batas. Patut dibanggakan dan disyukuri, formalitas organisasi dan programnya pun telah dimiliki, namun pelaksanaannya masih sangat memprihatinkan”.

Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa ruh PUI tercermin dalam al Intisab sebagai landasan ideal dan Ishlah al Tsmaniyah sebagai landasan opersional.
Kemungkinan lain karena warga PUI belum dapat memahami penerapan kedua prinsip tersebut dalam kehidupan nyata, karena minimnya perangkat pedoman organisasi baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gerakan amal praktis. Kemungkinan lain metode pembinaan yang kurang tepat, sehingga tidak mudah difahami oleh warga PUI secara merata. Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa perlu dibuat sebuah sistem dan rumusan-rumusan materi pembinaan terhadap warga PUI yang beragam baik status sosialnya maupun pola pemikirannya.

Al Intisab secara tekstual telah dibakukan sebagai doktrin organisasi. Namun formulasinya masih perlu dirumuskan. Formulasi rumusan yang telah ada baik hasil Muktamar VII PUI 1975 di Sukabumi maupun formulasi yang disempurnakan pada Muktamar VIII PUI 1987 di Jakarta, belum menjadi rumusan yang baku dan mantap. Oleh karena itu, masih perlu terus digodok agar layak dimasukkan ke dalam format AD/ART. Sehingga dapat dijadikan pedoman yang baku dan berlaku dalam jangka waktu yang panjang.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Tim Media PUI
Copyright © 2009. PUI - Persatuan Ummat Islam - All Rights Reserved