Oleh H.NAZAR HARIS, MBA.
Ketua Umum DPP PUI (PERSATUAN UMMAT ISLAM)
Umat Islam di Indonesia yang mencapai kisaran 220 juta jiwa merupakan salah satu jumlah umat Islam terbesar di dunia. Karenanya, ia memiliki posisi strategis dari berbagai sisi. Dilihat dari sisi ekonomi merupakan pangsa pasar yang besar dan menggiurkan para pelaku pasar. Begitu pula jika ditinjau dari sisi ideologi, pemikiran dan politik. Pendek kata, keberadaan umat Islam di Indonesia sangat signifikan. Umat Islam di Indonesia pasti berbeda dibanding dengan saudara mereka di negara-negara di Timur tengah yang jumlahnya sangat sedikit, atau dibanding di negara lain walaupun jumlah mereka mencapai di atas 100 juta jiwa. Di India misalnya, jumlahnya memang lebih dari 120 juta jiwa tetapi mereka tetap minoritas di negara yang mayoritasnya beragama Hindu.
Itulah sebabnya ketika umat Islam di Indonesia menyelenggarakan suatu Kongres, maka harapan besar pasti muncul sebagai konsekwensi eksistensinya. Pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) pertama berhasil dirumuskan Konsep Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Masyumi yang diputuskan pada Kongres berikutnya 1947. Kemudian Masyumi menjadi Partai Politik besar pada pemilu 1955. Memang begitulah seharusnya, KUII harus menjadi tonggak (milestone) dari perjalanan sejarah bangsa dan Negara Indonesia, walaupun itu tidak terwujud pada KUII ke-III, IV dan V. Pada KUII VI hal itu coba diwujudkanlagi untuk kemaslahatan bangsa dengan mengusung tema,“Penguatan Peran Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban.”
Hanya saja kita perlu bedakan antara angan-angan tentang apa yang akan kita capai dengan kerja nyata. Angan-angan biasanya dilakukan oleh para pemalas yang hanya memiliki harapan tanpa ada upaya yang memadai untuk mewujudkannya. Sementara kerja nyata dibangun oleh para pekerja sejati yang layak disebut Mujahid.Angan-angan berubah cepat menurut selera bahkan untuk capaian yang tidak mungkin sekalipun, adapun kerja nyata berjalan sesuai rencana, tahap demi tahap.
Tetapi tahukah kita, bahwaangan-angan seharusnya juga menjadi bagian dari kerja nyata yaitu melalui hadirnya paraPemimpin bukan sekadar Pemimpi. Pemimpin yang punya angan-angan tentang masa depan, tentang pertumbuhan potensi maksimal yang bisa digapai dan tentang antisipasi segala hambatan dalam merealisasikannya. Pemimpin itu dikenal sebagai Pemimpin bervisi (visionary leader) yang sekurangnya memiliki tiga kemampuan dasar yaitu ; mampu memetakan masalah, kemudian mampu merencanakan dengan baik program-programnya serta mampu menggerakkan unsur-unsur pendukungnya.
Kerja Nyata Ormas Islam melalui KUII VI
Melihat tantangan yang ada di hadapan KUII VI diperlukan kerja nyata konstruktif yang meliputi ;
a.Re-Engineering Keumatan
b.Re-inventing Keumatan dan
c.Re-formasi Kelembagaan.
Sebagaimana kita tahu, bahwa ormas Islam baru hadir di awal abad 20 atau setelah Islam eksis lebih dari 1200 tahun. Sebagai hasil perenungan dan ijtihad para pemikir dan ulama Islam, ormas Islam dimaksudkan sebagai wadah aspirasi umat apabila kekhalifahan Islam runtuh atau hilang perannya dari panggung perpolitikan dunia. Sekarang pada abad 21, kiprah ormas Islam sudah masuk pada abad kedua kehadirannya. Zaman sudah berubah, teknologi berubah, dan persepsi umat juga berubah. Apakah kita masih mampu menampung aspirasi umat dengan cara seperti yang kita lakukan seabad lalu ? Tidak! Kita harus melakukan rekayasa ulang (re-engineering) Keumatan kita yang meliputi 4 aspeknya: input, proses, output dan paradigmanya.
Ormas Islam harus memperhatikan cara mereka menampung umat dan daya tampungnya. Karena umat adalah bahan baku yang meng-inputormas Islam dengan berbagai dimensi potensinya ; potensi kaderisasi (SDM), potensi ide-ide cerdas dan tentu potensi dana serta professionalisme mereka.Kita harus melakukan rekayasa kapasitas daya tampungnya. Sejalan dengan Umat Islam yang makin banyak populasinya, apakah memadai laju pertumbuhan daya tampung kader masing-masing ormas dibandingkan dengan laju pertumbuhan populasi umat itu? Kita harus meningkatkan kapasitas kita untuk menerima kehadiran mereka sebagai calon-calon kader.
Dan ketika mereka sudah bersama kita, bagaimana kita melakukan proses kaderisasi di ormas kita. Apakah pola kaderisasi kita memiliki kecepatan yang cukup untuk merubah mereka menjadi kader Islam yang handal untuk menghadapi zamannya? Apakah bahan atau materi kaderisasi kita masih mumpuni untuk mereka serap dan mereka aplikasikan dalam kehidupan ? Apakah metode yang kita gunakan up to date sesuai perubahan teknologi, misalnya?
Kita harus menetapkan target keluaran (output): karakteristik kader dan minimal potensi yang berhasil kita kembangkan yang merupakan nilai tambah (added value) bagi umat dalam interaksinya dengan kita. Kita tidak bisa membiarkan output kita dengan sejadi-jadinya saja, melainkan mereka memiliki standar mutu sebagai kader umat di masa depan. Mereka harus punya pemahaman untuk apa mereka hadir di dunia Islam, mengapa mereka harus berbuat sesuatu untuk Islam dan bagaimana cara menjadikan mereka bermanfaat untuk Islam.
Untuk itu kita harus membenamkan suatu cara pandang (paradigma) keumatan kita dalam benak mereka mencakup; Lingkup peran, fokus tugas dan tata cara interaksi positif terhadap berbagai unsur umat Islam dan non-Islam. Sehingga di masa depan ormas-ormas Islam akan bersinergi satu sama lain dalam membangun umat, mengerti peran apa yang harus dimainkannya masing-masing untuk kemajuan umat dan bangsa. Saling mengerti dan saling mendukung untuk merealisasikan tujuan masing-masing. Tidak saling menafikan, tidak saling menyalahkan apalagi menghancurkan satu sama lain. Menjadikan kerjasama antarorganisasi sebagai suatu keharusan dalam rangka mendapatkan efek penggandaan (multi plying effect) dan perluasan jangkauannya(outreach).
Re-inventing Keumatan
Di dunia bisnis biasanya dikenal ada 3 (tiga) unsur perubahan yaitu:konsumen, kompetisi dan teknologi. Bagi dunia organisasi nirlaba seperti ormas Islam, unsur konsumen itubisa diterjemahkan sebagai umat, baik Islam maupun non-Islam. Terhadap ketiga unsur itulah ormas Islam harus menemukan kembali jati dirinya (re-inventing)dengan jalan melakukan restrukturisasi organisasi agar cocok (compatible) dengan programnya, profitisasi dari dinamika organisasinya, dan privatisasi amal usahanya.
Restrukturisasi organisasi dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing (lebih kompetitif) dan daya tawar (bargaining) ormas terkait dengan tuntutan perkembangan zaman. Tidak jarang organisasi yang sederhana (simple) lebih punya kemampuan gerak yang lincah dibandingkan struktur “kapal tanker” yang berisi daftar nama pengurus yang panjang. Simplifikasi organisasi ini juga ditujukan untuk membuat tim-tim kecil (small group) yang dapat efektif mendiskusikan jangkauan sasaran dengan fokus pada segmen yang ingin dicapai.
Pemikiran tentang mengoptimalkan amal usaha primer (core business) dengan memperhatikan pertumbuhan (grow up) skala usaha dan kompetensi utama (core competence) yang dimiliki.
Profitisasi dimaksudkan dengan peningkatan kemampuan ormas untuk mendapatkan manfaat (benefit) dari amal usahanya yang menjadikannya organisasi yang dapat mandiri (tidak tergantung bantuan Pemerintah atau donator) dan meninggikan wibawa (izzah) organisasi. Profitisasi sebaiknya dimulai dengan mengubah budaya organisasi (corporate culture) yang biasanya tergantung donasi menjadi mampu membiayai diri sendiri melalui budaya memanfaatkan potensi sendiri (swadesi) dan “kas kita adalah kantong kita sendiri”(shunduquna juyubuna). Sehingga kita dapat mengatasi masalah pendanaan organisasi, pemanfaatan teknologi yang makin efisien dengan menggunakan manajemen modern untuk menghadapi pangsa pasar global keumatan.
Sedangkan yang kita maksud dengan privatisasi adalah memberikan delegasi pengendalian(delegation of control )subsektor organisasi dan delegasi wewenang (delegation of authority) sesuai dengan kompetensinya. Sehingga induk organisasi lebih mirip seperti holding company yang bertugas dalam regulasi dan kontrol.
Re-formasi Kelembagaan Kolegial
Dengan memahami re-engineering dan re-inventing keumatan kita sampai kepada keperluan kita untuk mewujudkannya. Sekadar pemahaman saja tentu tidak merubah apapun yang sedang terjadi dan akan terus terjadi. Pertanyaan kita sekarang adalah dari mana harus kita mulai (min aina nabda’ul ‘amal) ?
Sejumlah beban telah tergambar dengan sempurna di hadapan kita. Dari kaderisasi sampai meninggikan wibawa (izzah) umat. Dari menanamkan budaya mandiri sampai kesiapan menghadapi pasar global. Di sinilah kita perlu sedikit mereformasi kelembagaan kolegial kita supaya bisa mengantisipasi perkembangan ormas-ormas yang kita miliki.
Yang harus menjadi fokus kita adalah mendapatkan penggerak mula (prime movers) untuk melakukan revolusi keumatan dan ormas kita. Penggerak mula yang sekaligus menjadi lokomotif yang menggerakkan dan menarik gerbong beragamnya umat dan ormas kita. Mungkin salah satu yang bisa dipertimbangkan adalah membentuk semacam Majelis Syura Pimpinan Ormas Islam Indonesia (apapun namanya) yang cukup egalitarian tanpa harus terbebani oleh nama badannya.
Demikianlah masukan kami dari PUI (Persatuan Ummat Islam) untuk Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta. Mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan terutama pada penjelasan peristilahanyang terdapat dalam tulisan ini karena tulisan ini dibuat agak tergesa-gesa.Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kemajuan umat. Amin.
Selamat dan sukses berkongres pada KUII VI, semoga in dapat menjadi tonggak sejarah yang signifikan bagi kemajuan kaum muslimin dan bangsa Indonesia.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barokatuh.
*Tema Kongres Ummat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta 8-11 Februari 2015
**Tulisan singkat materi ini disampaikan sebagai masukan dari Persatuan Ummat Islam (PUI) dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII)VI, 2015
Bedanya Angan-angan dan Kerja Nyata
0 komentar:
Posting Komentar