Mengapa
Islam demikian kerasnya dalam memerintahkan persatuan dan kesatuan?
Mengapa pula Islam sangat mengecam perpecahan dan pertentangan? Yusuf
Qardhawi, yang mengajukan pertanyaan itu dalam bukunya Fiqih Ikhtilaf,
menjawab bahwa sesungguhnya, di balik persatuan terdapat sekian banyak
manfaat dan pengaruhnya yang positif bagi kehidupan umat.
Di antaranya, menurut Qardhawi, persatuan akan memperkuat orang-orangyang lemah dan menambah kekuatan bagi orang-orang yang sudah kuat. Persatuan juga merupakan benteng pertahanan dari ancaman kehancuran.
1. Persatuan akan memperkuat orang-orang lemah dan menambah kekuatan bagi orang-orang yang sudah kuat. Satu batu bata saja akan tetap lemah betapa pun matangnya batu-bata tersebut. Ribuan batu bata yang berserakan tidak akan membentuk kekuatan kecuali jika telah menjadi dinding. Antara bata-bata yang satu dan yang lain telah direkat dan ditata secara rapi.
Inilah yang diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Saw: “Orang mukmin yang satu dengan orang mukmin lainnya seperti bangunan yang saling memperkuat.” (muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Musa al-Asy’ari). Firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan berbaris seolah-olah mereka satu bangunan yang kokoh.” (QS. al-Shaff/61: 4)
Kita pun sering mendengar seorang bapak mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kekuatan sapu lidi. Tak seorang pun dapat mematahkan lidi-lidi yang telah diikat menjadi satu sapu lidi. Tapi, manakala sapu itu diurai, dengan mudah lidinya dapat dipatahkan satu demi satu.
2. Persatuan merupakan benteng pertahanan dari ancaman kehancuran. Seorang diri bisa saja lenyap, jatuh, atau disergap oleh setan-setan manusia dan jin. Tapi, jika ia berada di dalam jamaah, ia akan terlindurngi. Seperti seekor kambing ketika berada di tengah kerumunannya, tidak ada serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawanan itu sendiri. Serigala akan berani memangsanya manakala kambing itu keluar dari kawanannya atau berjalan sendirian.
Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits-haditsnya. Imam al-Bukhari dalam kitabnya mengutip sebuah hadis Nabi saw, “Kalian harus berjamaah” (al-Tarikh al-Kabir, VIII: 447), sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi Saw bersabda: “Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-berai” (Musnad Ahmad, juz V: 370).
Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhotbah menyampaikan sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda: “Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian (Sunan al-Tirmidzi, juz IV: 465; al-Sunan al-Kubra, V: 388). “Kalian harus berjamaah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan dia akan lebih jauh dari orang yang bedua.”
Sabda Nabi lainnya, “Kalian harus berjamaah karena tangan Allah bersama jamaah. Barangsiapa melesat sendirian maka ia akan melesat sendirian di neraka.” Lainnya lagi: “Sesungguhnya setan adalah serigala manusia, sedangkan serigala itu hanya memakan kambing yang lepas (dari kawanannya).”
Ada satu kisah di dalam al-Qur’an yang mengajarkan agar kita senantiasa menjaga kesatuan jamaah. Alkisah Nabi Musa as pergi memenuhi “panggilan” Allah selama tiga puluh malam, kemudian disempumakan dengan sepuluh sehingga menjadi empat puluh malam. Selama kepergian tersebut, tugas Nabi Musa digantikan oleh Nabi Harun as, saudaranya. Selama kepergian Nabi Musa inilah, kaumnya diuji dengan penyembahan anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Setelah kembali kepada kaumnya, Nabi Musa dikejutkan oleh penyimpangan besar yang menyentuh esensi aqidah yang dibawanya dan dibawa oleh semua Rasul sebelum ataupun sesudahnya.
Nabi Musa pun marah, lalu melemparkan lembaran-lembaran mushafnya seraya menjambak rambut saudaranya dan berkata, “Hai harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (QS. Thaha/20: 92-93)
Nabi Harun menjawab, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, “Ia (Harun) menjawab, ‘Hai anak ibuku, janganlah engkau jambak jenggotku dan janganlah engkau tarik rambut kepalaku. Sesungguhnya, aku takut engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah bani Israel dan engkau tidak memelihara perkataanku.” (Thaha/20: 94)
Di dalam jawaban ini, Nabi Harun tampaknya meminta maaf kepada saudaranya. Ia mengaku mendiamkan tindakan kemusyrikan besar dan penyembahan anak sapi yang dilakukan kaumnya bangsa Samiri, dengan alasan demi menjaga kesatuan jamaah dan mengkhawatirkan perpecahan mereka.
Tentu kekhawatiran tersebut hanya bersifat sementara, selama kepergian Musa, ketika Nabi Harun tak bisa berbuat banyak. Setelah Nabi Musa kembali, kedua rasul bersaudara ini kembali bekerja sama menangani krisis kemusyrikan yang timbul di tengah-tengah kaum yang mereka bina.
Hadis-hadis dan kisah di atas semuanya mengisyaratkan pentingnya persatuan dengan cara berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah, baik secara jasmani maupun secara rohani.
Dalam shalat kita dianjurkan berjamaah. Bahkan setengah ulama menghukumi shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah [Shahih Muslim, juz I: 451; Syarh al-Nawawi 'ala Shahih Muslim, juz V: 153].
Tujuan paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Kalau yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani, maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal, sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu pun harus dikondisikan agar juga berjamaah agar persatuan menjadi betul-betul kuat.
0 komentar:
Posting Komentar