Bismillahirrahmanirrahim
PENDAHULUAN
1.Orang-orang yang untuk pertama kalinya menghadiri sebuah pertemuan resmi warga PUI mungkin akan terkesima tatkala mereka terpaksa harus ikut berdiri, menirukan atau mendengarkan pembacaan “Intisab”. Mereka mungkin telah mengenal sebagian kalimat-kalimatnya, namun dalam rangkaian “Intisab” mungkin mereka anggap lain. Tambahan pula, tata cara pembacaannya, yang mirip “kaifiat mahdhah” itu, makin mengesankan kelainannya. Karena itu, sesuai pembacaan “Intisab” tersebut, mereka mungkin menebak-nebak sosok PUI. Dalam gambaran mereka pembacaan “Intisab” tersebut adalah ciri khas PUI.
Gambaran seperti itu terdapat pula pada umumnya warga PUI. Ciri khas jum’iyyahnya adalah pembacaan “Intisab” itulah. Bedanya dengan “orang luar” tentang pembacaan “Intisab”, selain tentu saja lebih hafal, mungkin hanyalah dalam hal reaksi motoriknya tatkala pimpinan rapat atau pertemuan mengajak hadirin untuk membaca “Intisab”. Biasanya, sebelum pimpinan mempersilahkan berdiri pun, hadirin yang warga PUI tampak mulai bergoyang, siap-siap untuk berdiri. Selanjutnya, nyaris tanpa di minta lagi, hadirin serempak berdiri segera setelah setelah pimpinan pembacaan “Intisab” tampil di hadapan mereka. Kemudian pembacaan pun dilaksanakan, kalimat demi kalimat, menirukan pimpinanya. Pembacaannya memang lancar namun biasanya bernada datar, tanpa intonasi maupun emosi. Setelah acara pembacaan tersebut pertemuan pun dilanjutkan. Juga dalam suasana yang datar. Acara pembacaan “Intisab“ yang kalimat-kalimatnya menggambarkan komitmen keyakinan dan tekad beramal itu, seolah-olah tidak menggoreskan kesan kejiwaan apapun. Selain mungkin, menyelinapnya sebuah perasaan subyektif pada diri mereka yang mengaku telah menunaikan tugas jum’iyahnya.
Demikianlah lebih kurang gambaran umum dari aplikasi “Intisab” dalam rekaman kenyataannya selama ini. Aspek ceremonialnya lebih tampil. Bahkan terkesan seperti basa-basi organisasi, atau sekedar tradisi. Makna dan manfaatnya tidak jelas. Padahal tentu saja, para pendiri PUI dalam kesempatannya merumuskan “Intisab” bukan untuk di jadikan jampi-jampi. “Intisab” di lahirkan dari kancah semangat menegakkan keyakinan dari tekad beramal yang menggelora. Karena itulah kalaupun sesekali “Intisab” dibaca maknanya sama sekali bukan sekedar basa-basi atau tradisi. Pada awalnya kelahirannya pembacaan “intisab” bermakna tausiah atau tadzkirah serta pembangkit tekad dan semangat beramal.
2.Diantara makna majaazy dari kalimat “Intisab” adalah menisbatkan atau mempertautkan. Mempertautkan makna kalimat-kalimat “Intisab” dengan langkah-langkah amaliah, baik yang sudah, yang sedang maupun dengan langkah yang akan datang. Setiap kalimat “Intisab”, dalam pertautannya dengan pelaksanaan amaliah, dapat dipergunakan sebagai tolok ukur muhasabah (EVALUASI), baik dalam lingkup amaliah jum’iyah maupun lingkup afradnya (individu anggota). Dengan kesadaran seperti itu setiap pembacaan “Intisab” dapat dihayati sebagai forum evaluasi, tausiah dan tadzkirah.
Secara harfiah kalimat “intisab” dapat pula diartikan mempersaudarakan, yaitu menumbuhkan, membina dan mengembangkan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Kalimat-kalimat “Intisab” sejak yang pertama, yaitu “Basmalah”, sampai dengan yang terakhir, yaitu “Tidakbir”, adalah landasan sekaligus pedoman untuk upaya mempersaudarakan Ummat Islam. Dalam lingkup mikro “Intisab” adalah landasan dan pedoman mempersaudarakan sesama warga PUI menurut konsep Islam. Dalam lingkup makro, Intisab merupakan upaya mempersaudarakan segenap Ummat Islam.
Menurut pendekatan sejarahnya “Intisab” adalah rumusan konfiguratif dari keteladanan amaliah para pendiri PUI. Kalimat-kalimatnya mengandung pesan Aqidah. Landasan dan tujuan amaliah serta sifat dan karakter mereka beramal. Pembacaan “Intisab”, karenanya, merupakan upaya penyampaian pesan-pesan tersebut. Tatkala membaca “Intisab” segenap warga PUI diharapkan dapat menangkap makna keteladanan para pendiri PUI, yang tersirat dalam kalimat-kalimat yang di bacanya.
Dengan pemberian makna-makna seperti itu “Intisab” kiranya dapat diangkat menjadi integritas (jatidiri) PUI, tidak sekedar sebagai ciri khas dari identitas lahiriah lantaran kebiasaan ceremonialnya. “Intisab” kemudian mempunyai makna yang berbobot aplikatif. Pengertian bahwa seseorang dianggap memahami “Intisab” bukan lagi karena mahir membaca dan menulisnya dengan “baik dan benar”, atau sekedar hafal dalil-dalil sandarannya termasuk mampu membuat uraian normatifnya. Tidak sekedar itu semua. Pemahaman “Intisab” yang utuh adalah kelengkapan pemahaman, terutama atas makna aplikatifnya dan, tentu saja, pengalamannya. Pada suatu waktu nanti, kiranya, kualifikasi “ke-PUI-an” seseorang akan banyak ditentukan oleh kualitas pemahaman aplikasi “Intisab” serta pengalamannya. Orientasi pengkaderan pun kemudian akan lebih diarahkan pada pemahaman “Intisab” secara komprehensif dan utuh.
AMALIAH BER-INTISAB
1.Makna “Intisab” Yang utuh tidak lain dari landasan dan pedoman beramal setiap Muslim. Isinya bahkan kalimat demi kalimatnya, adalah tolak ukur buat kualitas ke-Islaman sebuah amaliah, sejak motivasinya sampai pelaksanaan dan efektivitasnya. Karena itu amaliah yang ber-Intisab dapat merupakan pelaksanaan komitmen terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.
Komitmen pertama adalah pengakuan, dengan keyakinan keinsyafan dan kesadaran bahwa Aqidah Islam adalah landasan dan pedoman segala bentuk dan segi amaliah. Bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib diibadati selain Allah SWT. Bersaksi pula bahwa satu-satunya cara (syari’at) untuk beribadat kepada-Nya, yaitu syari’at yang di sampaikan Muhammad Rasullah SAW (Al-Islam).
Komitmen kedua adalah tentang tujuan hidup, yaitu tercapainya mardhotillah, dengan kesadaran yang pasti bahwa pencapaiannya harus ditukar dengan pelaksanaan amaliah yang IKHLAS. Dengan karakter amaliah yang dinamis, senantiasa perbaikan (ISHLAH), demi tegaknya “amar ma’ruf nahi munkar’’. Motivasinya semata-mata kerena kecintaan (MAHABBAH) pada Allah SWT. dan Rasul-Nya, dengan harapan memperoleh kecintaan-Nya. Sifat dan sikap yang kukuh dan tangguh terhadap kekafiran. Sebaliknya mudah luluh dan tasamuh terhadap keimanan dan sesama kaum beriman pada hakikatnya adalah panji-panji (syi’ar) kecintaan pada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Komitmen ketiga adalah janji dan tekad untuk bersungguh-sungguh (berjihad) membuktikan pengakuan dan kesaksiannya atas Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mencari keridhaan-Nya dengan beramal nyata di tengah hamba-hambaNya, di tengah-tengah masyarakat dan ummat manusia umumnya.
Komitmen keempat adalah kesiapan mental untuk bersikap tawakal, dalam menunaikan janji dan tekadnya. Dan untuk bersikap sabar dalam menghadapi segala kemungkinan akibat janji dan tekad amaliah-Nya. Tidak menjadi sombong karena menang, tidak pula lemah karena kalah.
2.PUI adalah Jum’iyah Amaliah. Upaya mencapai mardhatillah, sebagai hakikat tujuan hidup dan amaliahnya, dilakukan dengan beramal di tengah bermasyarat termasuk lingkungan hidupnya. Masyarakat adalah sasaran dan arena amaliahnya. Karena itu karakter amaliah PUI harus mampu mengantisipasi karakter kehidupan masyarakat yang selalu tumbuh dan berkembang itu. Karakter amaliah PUI harus dinamis agar dapat mengantisipasi dinamika kehidupan masyarakat.
Di abad teknologi modern sekarang ini dinamika kehidupan masyarakat sering memprovokasi ekses-ekses perkembangan yang merugikan masyarakat sendiri. Kecendrungan masyarakat ke arah serba benda mengguncangkan dan merusak tata keyakinan (Aqidah Tauhid). Muncullah kemusyrikan, khurofat dan bid’ah dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.
Selain terhadap tata keyakinan, ekses perkembangan masyarakat modern juga menimbulkan guncangan dan kerusakan pada sendi-sendi strategis kehidupan masyarakat. Untuk itu PUI mengajukan upaya perbaikan atas delapan sasaran strategis, yaitu perbaikan–perbaikan Aqidah, Ibadah, Tarbiyah (pendidikan), A’ilah (keluarga), A’dah (adat-istiadat), Ummah (hubungan ummat/manusia), Iqtishad (ekonomi) dan Mujtama (sosial).
Demikianlah komitmen amaliah “Intisab” yang berkarakter dinamis itu di jabarkan dalam upaya perbaikan delapan sasaran stategis.
3.Melaksanakan perbaikan (ishlah) terhadap delapan sasaran tersebut adalah amaliah ber-Intisab. Bengkel-bengkelnya adalah lembaga-lembaga sosial pendidikan (formal, non formal dan informal), majelis ta’lim dan lembaga-lembaga sosial PUI.
Dalam lembaga pendidikan formal pelaksanaan “Delapan Ishlah” diantaranya melalui pembobotan seluruh bidang studi, misalnya melalui “tujuan kurikulernya”. Suatu bidang studi mungkin hanya dapat di boboti satu atau dua “sasaran Ishlah”. Bidang studi lainnya mungkin diboboti lebih banyak. Pelaksanaan pembobotan bidang-bidang studi ini selain memerlukan perekayasaan kreatif terhadap kurikulum juga pelatihan-pelatihan yang memadai bagi para tenaga kependidikannya (guru).
Dalam lembaga-lembaga pendidikan non formal maupun informal, seperti majlis-majlis ta’lim dan kegiatan-kegiatan latihan, pelaksanaan ‘delapan Ishlah’ mungkin lebih banyak yang bersifat praktis. Untuk lembaga-lembaga ini pun diperlukan semacam kurikulum atau juklak bagi para pelaksanaannya.
4.Setelah mekenisme penjelmaan “delapan Ishlah” berlaku dalam seluruh kegiatan PUI, maka acara pembacaan “Intisab” tidak lagi dianggap sekedar memenuhi tradisi melainkan sebagai forum evaluasi. Dalam kesempatan itu setiap warga PUI yang membaca “Intisab” diharapkan mampu melakukan introspeksi tentang peran sertanya dalam pelaksanaan amaliah PUI. Kalimat demi kalimatnya yang dibaca dapat dihayati sebagai taushiah atau tadzkirah. Setelah itu diharapkan ada perbaikan atau peningkatan.
INTISAB MEMPERSAUDARAKAN
1.Makna lain dari “Intisab” adalah mempersaudarakan. Dua “kalimah Thoyyibah” pada awal rumusan “Intisab” adalah sandarannya yang utama. Namun makna dan lingkup persaudaraan menurut “Intisab”-nya PUI kiranya perlu di tegaskan.
Persaudaraan “Intisab” adalah persaudaraan menurut konsep dan berpedoman pada aqidah Islam, karena itu persaudaraan “Intisab” tidak lain dari persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Dalam lingkup mikro, yaitu persaudaraan antar warga PUI, polanya mungkin melampaui persaudaraan hubungan darah. Dalil-dalil yang menegaskan bahwa persaudaraan Islam itu hubungannya “kaljasadil- wahid” dan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, menunjukkan betapa hebatnya tali pengikat persaudaraan itu.
Idealnya Hadits Nabi tersebut dapat secara harfiah dilaksanakan namun tampaknya tidak gampang dan persoalannya pun memang tidak sederhana. Kendatipun demikian kalaulah PUI sanggup menumbuhkan model persaudaraan yang kurang lebih mirip persaudaraan sedarah, juga mungkin hanya dengan beberapa cirinya saja, kiranya terhitung cukup memadai sebagai langkah awal. Misalnya, bagaimana menumbuhkan kerinduan saling berkunjung atau bertemu. Saling menanyakan ihwal masing-masing, baik dengan pesan tertulis (surat) maupun pesan-pesan lisan, termasuk juga ihwal keluarga masing-masing. Membiasakan saling memanggil dengan sebutan-sebutan menurut kedudukan keluarga sedarah, misalnya panggilan Abang, Akang, Mamang, Bibi dan lain-lain, tentu saja atas persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Selain itu juga misalnya menumbuhkan kebiasaan saling mengingatkan kekeliruan atau kekurangan masing-masing. Saling menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan percekcokkan, dan banyak lagi.
2.Substansi persaudaraan adalah kemampuan saling mengisi kebutuhan masing-masing pihak tanpa interest-interest pribadi masing-masing. Mungkin saja satu sama lain memiliki perbedaan, namun kedua tidak terhalang untuk saling mengisi kebutuhan interaksi bilateralnya. Sama halnya dengan persaudaraan sedarah, perbedaan-perbedaan yang dimiliki masing-masing anggota keluarga tidak menghalangi komunikasi-komunikasi kekeluargaan.
Persaudaraan “Intisab” juga memang seperti itu. Perbedaan-perbedaan fiqh misalnya tidak perlu jadi penghalang komunikasi kekeluargaan atau keorganisasian dalam PUI. Sepanjang kepentingan amaliah PUI masing-masing warga PUI dapat saling mengisi. Pola kekeluargaan atau persaudaraan seperti ini pada saat sama dapat dikembangkan dalam lingkup persaudaraan makro, lingkup persaudaraan dengan deluruh Ummat Islam.
Secara makro persaudaraan “Intisab” dapat dikembangkan menjadi milik seluruh Ummat Islam. Pada suatu saat persaudaraan “Intisab” dapat memberi bobot makna Ukhuwah Islamiyah dalam arti kebersamaan kaum Muslimin untuk saling membantu dalam segala kebutuhan masing pihak maupun kebutuhan yang dirasakan bersama, misalnya kebutuhan memberlakukan prinsip-prinsip sosial Islam dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara. Misalnya, jika segenap Ummat Islam merasakan kebutuhan bersama atas suatu perundang-undangan yang mengatur kehidupan Ummat Islam, maka oleh persaudaraan Islam yang intisab seluruh golongsan terpanggil untuk secara bersama menyatidakan kebutuhannya tersebut kepada pihak yang berkepentingan.
INTISAB DAN KETELADANAN
Tatkala “Intisab” untuk pertama kalinya diperkenalkan (1943), Ummat Islam, khususnya warga PUI sangat merasakan makna kalimat demi kalimatnya. Kalimat-kalimatnya terasa membersitkan semangat pengamanan, aqidah, kepedulian sosial, patriotisme dan tekad untuk beramal lebih sungguh-sungguh. Kalimat-kalimatnya mengisyaratkan cara menghadapi penjajahan aqidah, pemerkosaan politik, sosial dan ekonomi, yang dilakukan penguasa Jepang waktu itu. Betapa pula para pendiri PUI itu membulatkan tekad dan sikap tawakalnya untuk tetap meneruskan amaliahnya.
Warga PUI yang pada wakti itu di ajak membaca “Intisab” seolah-olah diajak menjelajahi perjalanan amaliah para pendiri PUI maupun para pejuang Islam lainnya dalam menegakkan Al-Islam. Bagi para pembaca “Intisab”, kalimat-kalimatnya tergambar sebagai susunan konfiguratif keteladanan para pejuang. Mereka merasakan pembacaan “Intisab” sebagai pembacaan pesan-pesan para pendahulunya. Warga PUI masa lalu, setiap membaca “Intisab” seolah-olah diingatkan pada pola persaudaraan yang dicontohkan para pendiri/pimpinan PUI, baik diantara warga PUI sendiri maupun diantara pimpinan PUI dengan pimpinan jum’iyah Islam lain. Terbayang pada mereka, pimpinan selalu datang menjenguk apabila diantaranya ada yang sakit. Pimpinan bersama warga lainnya datang berta’ziyah apabila diantaranya ada yang meninggal. Pimpinan, juga saudara-saudara se-jum’iyah, terbayang peranannya dalam setiap kalimat “Intisab”. Pembacaan “Intisab” bagi mereka seperti membuka-buka album keteladanan para pemimpinnya. Pembacaan “Intisab” benar-benar sangat bermakna bagi mereka yang membacanya, waktu itu.
INTISAB SEBAGAI JATI DIRI
1.Pengertian Jati diri: Perkataan “Jati diri” atau “Integritas” adalah konfigurasi dari ciri-ciri khas yang membedakanya dari yang lain. Makin banyak perbedaan ciri khasnya makin jelas Jati dirinya.
2.Jati diri PUI: Sampai saat ini pun banyak orang, bahkan warga PUI sendiri, mempertanyakan jati diri PUI. Sementara ini ada sangkaan bahwa “Intisab” adalah ciri khas PUI, namun sampai saat ini belum jelas perbedaan “Intisab” PUI dengan rumusan kalimat-kalimat yang serupa, yang juga “dimiliki” orang lain. Kalimat “Basmallah”, misalnya sudah pasti bukan milik PUI sendiri. Demikian juga dua kalimat Syahadah, bukan milik PUI. Karena itu selain mungkin hanya nama rumusan “Intisab”-nya, PUI tidak berhak mengklaim bahwa kalimat-kalimat “Intisab” adalah hak paten PUI. Kalaulah “Intisab” akan dijadikan ciri khas PUI caranya tidak lain adalah bagaimana “Intisab” tersebut diberi makna aplikatif yang sebanyak-banyaknya, sehingga tampak perbedaannya.
0 komentar:
Posting Komentar