Headlines News :
Home » , , » Intisab Makna dan Aplikasinya Dalam Pergerakan Ummat

Intisab Makna dan Aplikasinya Dalam Pergerakan Ummat

Written By P U I on Jumat, Juni 28, 2013 | 11:27:00 AM

Oleh: H.M.A. Rifai'

Kalau kita mempelajari Sunnah dan Sirah Rasulullah SAW., kita akan mengetahui bahwa senantiasa terdapat perjuangan (struggle) antara Islam dan Non Islam. Perjuangan Rasulullah itu berlangsung selama 23 tahun dan Wahyu Al-Quran berjalan dalam perjalanan dan proses perjuangan yang lama dan berat itu. Hanya setelah Islam berhasil menguasai lingkungannya saat itu, Islam, dalam istilah Al-Quran dinyatidakan sempurna. (Al-Quran 5:3).

Setelah itu Islam terus memperoleh kemenangan terhadap lingkungan yang memusuhinya. Hanya beberapa tahun sejak Rasulullah meninggal dunia, negara Islam yang telah didirikannya telah melebarkan sayap kedaulatannya ke pantai Atlantik dan Pasifik.

Kaum Muslimin bahkan menghancurkan dua Adikuasa pada saat itu yakni kekaisaran Bizantium (Roma) dan Sasanid (Persia). Sejak itu sampai setidaknya abad ke 18 Islam dan peradaban Islam tetap merupakan peradaban yang dominan dalam sejarah manusia selama 1.000 tahun.
Kemudian setelah itu sampai sekarang ini peradaban Muslim berada dalam pasang surut sejarah.

Dominasi Peradaban

“Ummat Muslim sedang menderita”, kata Ziauddin Sardar, dalam bukunya The Future of Muslim Civilisation. Penderitaan ummat ini bukan hanya bersifat fisik, akan tetapi juga meliputi segi-segi sosio-ekonomis, kultural dan politis.
Ummat Muslim, sebagaimana kelompok lainnya di atas bumi ini, hidup dalam dunia yang terikat oleh sistem-sistem kultural, ekonomi, politik dan alam yang rumit yang saling berhubungan dan saling bergantungan dan tidak terpisahkan. Padahal semua itu pada dewasa ini berada dalam dominasi barat yang tidak tampak perkasa.
Ummat Islam secara keseluruhan, kata Sardar harus menghadapi perjuangan yang sangat berat. Karena satu kakinya berpijak pada perjuangan yang sangat berat. Karena satu kakinya berpijak pada ikatan Islam sementara kaki lainnya terbelenggu pada ikatan non Islam.

Dalam sejarah seperti disebutkan di atas, ummat Muslim selalu mengalami kontidak dengan peradaban besar. Dalam kontidak-kontidak dengan lima peradaban besar dunia, yakni: Yunani, Semit, Persia dan Cina (lewat serbuan mongol) ummat Islam selalu berusaha untuk mengadopsi dan beradaptasi tanpa kehilangan identitas kultural mereka. Hal tersebut berhasil di lakukan berkat keunggulan intelektual dan kultural mereka.

Akan tetapi dominasi Barat pada abad-abad terakhir ini mendatangkan pengalaman yang belum terjadi suatu fenomena sejarah yang sama berbeda. Secara kultural dan intelektual masyarakat Muslim lemah dan mengalami kemunduran sementara Barat jelas tampak unggul baik dari segi teknologi, militer maupun dominasi intelektual mereka.

Meskipun pada tahun lima puluhan sebagian negeri-negeri Muslim memperoleh kemerdekaan, akan tetapi mereka tetap tergantung kepada negara-negara industri Barat bekas penjajah mereka. Negara-negara Muslim yang baru itu yang parah ekonominya, terbelakang teknologinya, salah urus masalah sosialnya didorong untuk “berkembang” lewat berbagai  “program-program bantuan” yang ditentukan oleh negara-negara maju. Dalam praktiknya, program-program bantuan itu merupakan bentuk dari penjajahan.

Pembaratan

Keunggulan intelektual barat yang terlihat dalam ilmu dan teknologinya berhadapan dengan kemunduran intelektual dan kultural Kaum Muslimin. Hal tersebut menimbulkan berbagai gejala dan reaksi yang tidak terelakkan.
Peradaban Barat di puja dan dianggap sebagai peradaban ideal. Sementara norma-norma sosial, pola-pola dan cari-cari berpikir yang telah menjadi tradisi masyarakat Muslim dianggap terbelakang, ketinggalan zaman, anti kemajuan bahkan liar. Oleh karena itu demi “kemajuan” ummat Islam didorong untuk menerima secara total budaya Barat bersamaan dengan adopsi dan ilmu teknologinya. Pandangan ini terungkap  paling jelas dalam kata-kata Thaha Hussain: “Mari kita ambil peradaban Barat ini dalam totolitasnya dan bersama seluruh  aspeknya, semua yang baik maupun  yang buruk”.

Memang ada sejumlah kecil orang yang melawan dominasi yang dipaksakan dari berbagai isme Barat itu dan mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai dan norma-norma Islam. Tapi sebagian besar anggota masyarakat telah tercabut dari akar keIslaman mereka dan terseret gelombang perubahan dan kelaliman teknologi, tumbang oleh badai moral berat, menerima seluruh kebiasaan sosial dan pandangan yang sesungguhnya asing dan sering tenggelam dalam kejahatan dan korupsi, tindak kekerasan dan kelicikan.

Kemana sekarang?

Sudah saatnya Kaum Muslimin membuang jauh-jauh perasaan tidak berharga dan rendah diri mereka berhadapan dengan peradaban Barat. Karena perasaan terasing dan tidak berdaya tidak mungkin dapat memulihkan keunggulan peradaban yang pernah mereka capai. Menurut Sardar untuk kebangkitan peradaban Muslim itu diperlukan sejumlah Prasyarat yaitu:
a.Kesadaran akan nasibnya dan akan perlunya usaha-usaha perbaikan.
b.Pendekatan yang seimbang dan moderat terhadap Islam.
c.Kritik diri yang tepat dan jujur.

Peradaban Muslim adalah satu-satunya peradaban yang masih melestarikan sifat hakikinya, yang dapat dijadikan tameng untuk menghadapi peradaban Barat yang dominan dan dapat memberikan struktur nilai yang banyak dibutuhkan untuk menuntun manusia menuju keselamatan.

Sistem Muslim

Bagi seorang Muslim, membangun peradaban Muslim adalah mengejawantahkan fungsi kekhalifahan Allah di muka bumi ini. Hal ini adalah sisi lain dari fungsi “ibadat” yang diamanatkan kepada manusia. Oleh karena itu kita menyadari bahwa misi tersebut hanya mungkin terwujud dalam suatu kehidupan serba Islami. Tegasnya suatu sistem muslim yang unik dengan nilai-nilai dasar yang berbeda dari sistem Barat yang mendominir dunia saat ini.

Satu-satunya tujuan dari sistem Muslim adalah memperoleh keridhaan Allah SWT. Yaitu menciptidakan dan mempertahankan suatu lingkungan yang di dalamnya Islam dapat dilaksanakan dalam setiap manifestasinya demi keridhaan Allah. Dan ini hanya dapat dicapai dengan jalan melaksanakan semua yang diperintahkan-Nya dan menghindari semua yang di larang-Nya.

Menurut Ziauddin Sardar “Sistem Muslim” ini hanya dapat bertahan dan berlangsung serta mampu mengatur dirinya antara lain kalau dapat tercipta suatu jarak perilaku yang memisahkan dirinya dengan lingkungannya. Dengan perkataan lain hendaknya ada suatu “Ruang Penyekat” antara sistem Muslim dengan sistem dunia yang menjadi lingkungannya. Ruang penyekat ini adalah kerangka konsep dasar Islam seperti konsep iman, birr (kebajikan), taqwa, kehidupan, kesamaan, perdamaian, moral dan lain-lain. Begitu jarak pemisah ini dibuang, batasan dari sistem Muslim akan tercabik sehingga tidak akan ada yang dapat memberikan lingkungan optimum yang memungkinkan ummat dapat menjalankan fungsi yang sudah ditetapkan.

Dengan demikian maka suatu jalan langsung untuk mempertahankan lapisan penyekat pada sistem Muslim ini adalah pelestarian kekayaan budaya dan penguatan nilai-nilai tradisioanal kita yang terwujud dalam sejarah dan budaya Muslim. Untuk diperlukan pengembangan kesadaran akan masa depan dalam diri kita sendiri, dengan mempengaruhi lingkungan kita; tetangga kita dan akhirnya ke seluruh ummat.

Sistem kesadaran itu harus dibangun secara bertingkat. Kalau kita tidak mengembangkan kesadaran akan masa depan dalam diri kita sendiri, kita tidak akan dapat mempengaruhi lingkungan kita. Dan kalau kita tidak mampu memberikan pengaruh pada lingkungan kita yang paling dekat, kita tidak perlu berharap akan dapat mempengaruhi seluruh ummat. Dan kalau kita tidak menunjukkan perhatian pada masyarakat kita sendiri maka tidak mungkin peduli pada sistem dunia secara keseluruhan. Karena itu kita harus mengembangkan suatu kesadaran akan masa depan dari kita sendiri. Sebab itulah satu-satunya tempat kita dapat benar-benar mulai.

Kesadaran akan masa depan

Inilah sesungguhnya “mission” dari semua gerakan Islam. Membangkitkan kesadaran akan masa depan inilah yang mendorong lahirnya organisasi-organisasi Islam yang dipelopori pemimpin-pemimpin terdahulu. Dari sudut inilah sesungguhnya kita harus menilai positif kehadiran berbagai organisasi Islam di tanah air kita.
Pergerakan Islam bertujuan untuk mengembangkan kesadaran akan masa depan dan menciptidakan suatu persepsi Islam secara tepat yang dapat menghubungkan ajaran-ajaran Islam dengan masalah sekarang dan menghadapi tantangan masa depan. Begitu kita peka terhadap persepsi ini berarti kita telah mendapatkan bekal untuk menganalisis masalah-masalah modern dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini kita bergerak menciptidakan sistem Muslim dalam rangka menciptidakan peradaban Islam di masa depan.

Nilai-Nilai Dasar Intisab

Adanya kesadaran terhadap masa dan adanya suatu persepsi untuk menghubungkan ajaran Islam dengan masalah aktual dan menghadapi masa depan itulah tampaknya yang mendorong para pendahulu kita merumuskan kalimat-kalimat mutiara dalam intisab.

Kita dapat mendudukan Intisab kita dalam proporsinya yang wajar. Dengan pendengkatan ini, maka kita juga akan terhidar dari kontroversi yang tidak perlu dan melehkan.

Dua kalimat shahadat yang merupakan bagian dari pertama dari Intisab menegaskan kaidah pokok dari keimanan (ketauhidan) seorang Muslim. Di samping itu, ia merupakan pengakuan akan kerasulan Muhamad SAW. yang mengemban wahyu Allah SWT. untuk menjadi petunjuk bagi kehidup kita.

Bagian kedua Intisab merupakan pengejewantahan nilai yang terkandung dalam syahadatain dalam memfungsikan diri sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Bagian kedua Intisab ini mengandung empat pedoman pokok, meliputi tujuan (Allah), titik tolak (keikhalasan/kesucian hati), metode dan proses (Ishlah) serta menjadikan cinta kasih sebagai unsur yang membimbing dan mendorong dalam sikap, perkataan, pernyataan dan alamiyah kita baik sebagai individu maupun jama’ah tandziem (organisasi).

Bagian ketiga Intisab menegaskan ikrar dan janji untuk beramal di tengah-tengah dan bagi kepentingan sesama manusia hamba Allah dengan segala kejujuran, keihlasan, keyakinan semata-mata mengharap ridha Allah sebagaimana di tanyakan terdahulu. Ucapan la haula  wa la quwwata illa billah menegaskan ketawakkalan dalam beramal yang mengandung makna pengerahan segala kapasitas dan kemampuan yang di karuniakan Allah serta tidak mudah menyerah dalam menghadapi segala kesulitan, ujian dan cobaan.

Bagian keempat yang terdiri Bismallahi dan Allahu Akbar adalah kebulatan tekad, jiwa dan raga untuk beramal dengan senantiasa mengharap pertolongan Allah dan menyampingkan segala sesuatu selain dari Allah.

Nilai Universal

Nilai-nilai yang terkandung dalam Intisab itu jadinya adalah persepsi-persepsi yang di susun dan digali dari ajaran Islam. Nilai itu merupakan bekal untuk mengadapi masalah-masalah aktual dan tantangan Ummat Muslim dalam berhadapan dengan keangkuhan peradapan barat yang angkara murka itu.

Nilai-nilai universal dari kandungan Intisab adlah penangkal dari bencana yang diderita manusia yang ditimbulkan peradaban modern Barat. Khususnya duka nestapa ummat Muslimin karena upaya pembaratan dan modernisasi yang membabi buta.
Dengan syahadatin itu kita secara sadar menolak segala bentuk pengingkaran atas keilahan dan kerububiyahan selain Allah, yang menimbulkan feodalisme, otoriter dan kediktatoran, pemerasan dan perbudakan. Ajaran tauhid akan memungkinkan terciptanya kesamaan, persaudaraan, solidaritas ukhuwah, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Iman (kepercayaan) kepada Allah adalah suatau corak kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia yang selalu memerlukan dimensi transedental dalam kehidupannya. Fitrah manusia bukan saja memerlukan hubungan (kontidak) yang terus menerus dengan Allah penciptanya, akan tetapi juga senantiasa memerlukan petunjuk dan bimbingan-Nya dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu ia akan selalu berusaha untuk menjalankan amanat sebagai khalifah Allah dengan beribadat kepada-Nya dan menciptidakan kehidupan yang penuh kebajikan, menjauhi kerusakan serta mencari keridhoan Illahi. Ia meyakini benar adanya pertemuan dengan sang khalik untuk mempertanggungjawabkan semua sepak terjangnya. Inilah makna dari pernyataan “Allah adalah tujuan kehidupan kami. Atau corak kehidupan imani (spritual) yang sesungguhnya diperlukan manusia dalam kehidupan modernnya yang serba matrerialistis.

Nilai-nilai moral dari konsep “ikhlas” akan membebaskan kita dari jebakan segala bentuk materialisme, ekonomisme, konsumerisme, pemborosan yang membawa bencana permusuhan, dengki, keterasingan dan kegelisahan hidup yang ditimbulkan tata kehidupan modern.

Prinsip “Ishlah” akan mendorong kita menciptidakan kehidupan yang maju, damai dan penuh kebajikan menuju keridhoan Allah serta menghindari tata kehidupan yang menimbulkan bencana peperangan dan pengrusakan alam yang membawa “kemajuan” dan modernisme. Cinta kepada Allah akan memancarkan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia sehingga terhindar dari segala corak “dehumanisasi”, ketidakadilan dan kezaliman atas nama apapun yang ditimbulkan teknologi yang pongah dan amoral.
Tekad untuk “al-amal baiyna ibadihi” menegaskan kesadaran akan perlunya bekerja dalam ikatan jama’ah dan juga kerelaan berbuat untuk kepentingan masyarakat banyak. Suatu kesediaan yang jauh dari egoisme yang menghinggapi manusia modern.

Memahami Islam

Islam adalah suatu pandangan hidup yang komprehensif dan bukannya semata-mata merupakan serangkaian ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan. Hal itu terbukti dengan kejayaan peradaban Muslim selama hampir seribu tahun di masa lalu itu. Oleh karena itu lagi-lagi menurut Sardar, ketidakmampuan ummat Islam melaksanakan konsep-konsep dinamis dan penuh semangat di tengah masyarakat kini adalah suatu pertanda bahwa kita tidak memahami Islam dengan latar belakang kondisi kehidupan yang berubah.

Kemunduran Ummat Muslim merupakan akibat dari kegagalan mereka dalam mengubah bentuk kerangka utama peradaban teoritis Islam ke dalam bentuk operasional.
Islam adalah suatu sistem holistik dengan sebuah kerangka utama yakni ketentuan iman, perintah-perintah dasar, pola-pola norma, dan nilai yang semuanya tidak akan berubah karena waktu. Kerangka utama itu kekal. Kebenaran tetap tidak akan berubah. Akan tetapi kondisi manusia berubah. Prinsip Islam adalah kekal akan tetapi penerapan prinsip-prinsip itu harus sesuai dengan keadaan yang selalu berubah, meski harus tetap dalam lingkup parameter Islam.

Oleh karena itu kita harus berupaya agar terdapat kemampuan untuk memahami dan mengemukakan kembali kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam ajaran al-Qur’an dengan cara yang lebih mudah diterima oleh para intelektual modern dan lebih mudah dipahami oleh manusia masa kini. Sehingga kita dapat menerapkan perintah-perintah Islam dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan menjamin kehidupan sosial yang sehat, kehidupan politik yang koheren, kehidupan ekonomi yang maju dan effisien serta berkembang terus di abad ke 21 nanti.

Aplikasi

Dengan uraian di atas saya mencoba meletidakkan dan menghadapkan nilai-nilai luhur dan universal yang terkandung dalam Intisab pada tantangan yang nyata yang dihadapi Ummat dewasa ini dan di masa depan. Sudah pasti, nilai-nilai luhur tersebut tidak akan berarti apa-apa manakala pemiliknya yaitu jama’ah PUI merasa cukup memperoleh kepuasan dengan membacanya sambil berdiri atau mengulang-ulangnya pada upacara di sekolah-sekolah tiap hari.

Perhimpunan ini telah memilih bidang garapannya sebagai organisasi sosial, pendidikan dan dakwah. Sehingga masalahnya sekarang ini bagaimana kegiatan sosial, kegiatan pendidikan dan kegiatan dakwah yang di lakukannya itu dapat menjelmakan kandungan Intisab itu dalam kerangka menciptidakan peradaban muslim di masa depan.

Hal tersebut akan merupakan suatu garapan besar yang memerlukan pengerahan minat, intelektual dan sumber daya lainnya yang penting adalah mari kita mulai tugas besar ini dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan, peluang dan sumber-sumber yang ada pada organisasi kita.

Ta’rif, Tidakwin dan Tanfidz

Yang pertama kita perlu memperbaharui pandangan kita terhadap organisasi/perhimpunan. Kita harus menegaskan kembali bahwa PUI adalah suatu bagian dari harakah Islamiyah atau gerakan kebangkitan Islam. Bukan sekedar kumpulan dari para penyelenggara madrasah yang ada kaitan bathin dengan SGI/Santi asromo atau pesantren Cantayan/Gunung Puyuh. Organisasi ini harus terus dihidupkan dan berkelanjutan sesuai dengan norma-norma kehidupan suatu organisasi, yakni adanya anggota yang sadar/beriltizam kepada tujuan organisasi, adanya pimpinan yang berdedikasi, adanya komunikasi dan adanya kegiatan yang menjadi tujuan.

Kedua, sebagai suatu harakah/gerakan maka PUI harus secara terus menerus melakukan pembinaan dan pendidikan terhadap anggota yang menjadi jama’ahnya di samping harus terus menerus berusaha menambah anggotanya. Oleh karena itu keanggotaanya harus bersifat aktif dan tidak sekedar didasarkan pada sekedar “alumni” sekolah PUI.

Dengan pendidikan dan pembinaan itu maka kita dapat meningkatkan kualitas Muslim dari satu peringkat ke peringkat lainnya. Dari satu kondisi ke kondisi lainnya sehingga mereka dapat digerakkan untuk mencapai tujuan organisasi.
Pola ini dirumuskan oleh Hassan Al Banna sebagai: Ta’rif, Tidakwin dan Tanfidz dalam bukunya Risalah Ta’alim. Ketiganya merupakan peringkat dakwah dan dakwah yang di lakukan organisasi.

Peringkat Ta’rif ialah fase menyebarkan fikrah/ide/gagasan/cita-cita dan menyampaikannya keseluruh lapisan masyarakat. Sistem jama’ah dalam peringkat ini membentuk sistem kelompok yang bertugas melakukan aktvitas kemasyarakatan. Cara yang digunakan ialah melakukan kampanye kesadaran, bimbingan, mendirikan lembaga-lembaga yang berguna dan badan-badan lain yang bersifat keilmuan.
Peringkat kedua Tidakwin yaitu memilih calon-calon kader yang baik dan layak untuk memikul tanggung jawab jihad. Dakwah dalam peringkat ini bersifat khusus. Khusus untuk mereka yang telah memiliki kesanggupan dalam memikul tanggung jawab.

Peringkat Tanfidz yaitu jihad yang tidak mengenal kompromi. Bekerja untuk mencapai tujuan yang berkesinambungan dan mengarungi berbagai ujian dan cobaan yang memerlukan keikhlasan benar.

Bertitik tolak dari pola ini maka sebagai organisasi da’wah dan jama’ah yang benar, diperlukan adanya kepemimpinan yang mengatur terlaksananya ketiga tahap pembinaan tersebut. Semuanya harus dilakukan dalam rangka keterpaduan organisasi, perencanaan kerja yang menyeluruh dengan konsep proses belajar-mengajar yang jelas, sehingga da’wah dan harakah adalah dalam suatu sistem yang utuh.

Tazkiyatun Nafs

Pola pembinaan tersebut pada dasarnya adalah untuk menciptidakan jama’ah yang selalu melakukan tazkiyatun nafs. Yakni membersihkan diri, keluarga dan masyarakat.

Tujuan dari tazkiyah adalah memurnikan dan membentuk diri agar memiliki kesadaran sebagai Mukmin “Hamba” Allah dan “Ummatan Wasathan” yang mengemban ‘Amanah’ kekhalifahan Allah di muka bumi ini. Dengan perkataan lain, memiliki kesadaran akan diri kita sendiri, identitas kita, akar kita, warisan budaya kita dan masa depan kita. Sehingga dapat merupakan lapisan pelindung pada sistem Muslim seperti dikemukakan terdahulu.

Menurut Khursyid Ahmad dalam tulisannya “Some Aspects of Character Building”, terdapat enam komponen atau sarana dari upaya Tazkiyyah ini yaitu: Dzikir, Ibadah, Taubah, Shabr, Muhasabah (kritik diri) dan Do’a. Tampaknya perlu ditambahkan lagi dua komponen lain yaitu Syukur dan Infaq, agar pensucian dan pembentukan diri ini terhindar dari gangguan negatif berupa hasad dan mudah putus asa serta kebakhilan yang senantiasa menjangkiti diri kita. Semua sarana dan komponen Tazkiyyah ini sudah cukup kita kenal.

Usrah

Tazkiyah dengan berbagai sarananya itu memungkinkan lahirnya kesadaran diri akan masa depan dalam hati setiap orang Mukmin. Dengan tazkiyah seseorang akan selalu menyadari adanya hubungan dengan Sang Pencipta dan juga hasil Ciptaannya. Dengan perkataan lain setiap individu akan dapat menjalani kehidupan dalam ketaqwaan kepada Allah SWT. Akan tetapi mengembangkan diri dalam suatu lingkungan yang dikuasai Non-Islam adalah sangat berat. Untuk itu berbagai organisasi pergerakan Islam membentuk lembaga usrah buat para anggotanya. Usrah adalah suatu kelompok kecil yang mengadakan pertemuan mingguan atau tengah bulanan untuk mengadakan pengkajian, perenungan batin atau pengembangan diri. Secara harfiah usrah ini berarti “keluarga” dan kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang ini mencerminkan solidaritas moral dan sosial yang ada dalam setiap keluarga.

Tayeb Abidin, dalam tulisannya “Oraganising for Tarbiyah (The Muslim 1971)”, menunjukkan empat tujuan umum dari lembaga usrah.
1.Melalui usrah ini akan terbentuk persaudaraan Islam yang terbatas di antara anggota usrah saja, akan tetapi meluas pada sesama Muslim dengan memberikan simpati dan ikut merasakan keprihatinan mereka.
2.Usrah membantu meningkatkan karakter seseorang dengan meneladani Rasullah SAW. Upaya ini bukan saja merupakan proses tidak berkesudahan akan tetapi sangat sulit.  Sehingga diperlukan perjuangan yang tidak henti-hentinya melawan kelemahan dan godaan diri serta melawan setiap lingkungan yang tidak Islami. Usrah dapat menuntun, memberi semangat dan mendorong anggotanya agar menapaki jalan kehidupan yang penuh perjuangan itu.
3.Usrah membantu mengembangkan identitas budaya, memahami Islam terutama lewat pemahaman terhadap Al-quran dan As-sunnah.
4.Usrah dapat melahirkan aktivitas-aktivitas lain misalnya para anggota dapat membahas masalah ummat, metode mendidik ummat, merencanakan kegiatan, mengembangkan cara sarana untuk melahirkan kesadaran akan masa depan di kalangan ummat.

Jakarta, 17 Ramadhan 1410
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Tim Media PUI
Copyright © 2009. PUI - Persatuan Ummat Islam - All Rights Reserved