Headlines News :
Home » , , , » Peran Al-Mushlihun

Peran Al-Mushlihun

Written By P U I on Kamis, Juni 27, 2013 | 8:06:00 PM

Al-Quran Surat Hud ayat 117 menyebutkan, "wa ma kanallahu liyuhlikal qura bi dzulmin wa ahluha mushlihun" Allah sekali-kali tidak akan menghancurkan suatu negeri, bangsa, umat, atau kaum, dengan kezaliman-kezaliman yang diperbuatnya sementara di tengah-tengah mereka masih ada orang-orang yang melakukan langkah-langkah ishlah/ mushlih.

Mushlih itu asal katanya dari ashlaha, berkembang dari tsulalsi mujarrad shalaha. Kalau shalaha pelakunya shalih. Kalau ashlaha pelakunya itu mushlih. Dia lebih proaktif. Kalau shalih itu baik untuk dirinya sendiri (shalihun li nafsihi), tapi kalau mushlih itu shalihun li nafsihi wa mushlihun li ghairihi (baik bagi dirinya dan bagi orang lain).

Sayyid Qutb Rahimahullah merumuskan al-mushlihun dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur'an: "al-mushlihuna hum al-ladzina 'indahum qudrah yashuddu biha al-'adzabu wa al-fasad" Al-mushlihun adalah orang yang mempunyai kekuatan, kemampuan untuk bisa menolak dengan kekuatannya itu kezaliman dan kerusakan." Itulah mushlihun, yang mungkin kelihatannya hanya dari aspek nahi munkar saja. Ini tafsir Sayyid Qutb.

Pada hakekatnya amar ma'ruf nahi munkar itu tidak punya batas. Begitu kita daf'ud dharar (menolak bahaya), otomatis juga jalbul mashalih (mendatangkan maslahat). Begitu kita jalbul mashalih, memberikan kebaikan (al-hasanat), otomatis daf'us sayyiah (menolak kejahatan). Jadi walaupun Sayyid Qutb mengatakan orang yang mushlih itu mempunyai kekuatan unuk menolak kezaliman, ketika peluang dan ruang gerak kezaliman dan kerusakan itu ditolak maka justru memperluas ruang gerak al-hasanat. Dalam Ushul Fiqih para ulama sepakat, "daf'ud dharari muqaddamun 'an jalbil mashalih".

Orang shalih (orang baik) tapi tidak mempunyai kekuatan daf'ud dharar-daf'ud dzulma wal mafasid, dia hanya menjadi shalihun li nafsihi. Bukan mushliltun li ghairihi. Yang, karena kondisi pasif itu, kadang-kadang seperti yang dikisahkan dalam hadist qudsi, ketika Allah SWT. memerintahkan malaikat untuk mengadzab suatu kaum. Kata malaikat, "Ya Rabb (wahai Allah) di negeri itu ada rajulun 'abidun shalih, seorang hamba yang selalu beribadah dan orang shalih." Tapi kata Allah, "Fabda' bihi" (mulailah adzabnya dari dia). Padahal dia shalih li nafsihi. Konsiderannya, kata Allah, karena dia tidak pernah memerah (merah wajahya), tidak pernah ghadhab fillah (marah demi Allah). Melihat kemungkaran dan kedzaliman hanya berdzikir saja. Oleh karena itu, kata Allah, fabda' bihi, mulailah adzabnya dari dia. Na'udzubillah.

Karena kita makhluk sosial, maka masing-masing kita mempunyai tanggung jawab sosial. Kita masuk ke surga karena memperjuangkan kebaikan bersama. Kalau mau baik sendiri, egoistis, na'udzubilLah akhiraya kita tidak masuk surga. Seperti rajulun 'abidun shalih tadi. Karena ada kezaliman, kerusakan, dia tidak peduli. Masih hidup di dunia sudah memakai dalil akhirat (nafsi-nafsi). Nafsi-nafsi itu bahasa akhirat, di hari kiamat nanti. Setiap kita akan berkata nafsi-nafsi. Surat Abasa: 34-36: Yawma yafirrul mar-u min akhihi, wa ummihi wa abihi, wa shahibatihi wa banihi. Semua akan menghindar dari ayah-ibunya, dari istrinya dan dari anaknya. Bahkan dari cucunya wa fashilatihi wabanihi. Anak-cucu akan menghindar semua.

Nafsi-nafsi itu kehidupan di akhirat ketika hari kiamat, ketika menghadapi muhasabah. Kalau kita di dunia menerapkan hidup nafsi-nafsi, artinya kita sudah mati sebelum ajal. Karena sudah mati sebelum ajal, biasanya bau. Bau mulutnya, suka bikin fitnah, isu, gosip. Kadang-kadang menyebarkan fitnah, isu, gosip itu didukung teknologi, dengan memakai SMS menyebar ke mana-mana. Orang seperti itu biasanya orang yang kurang kerjaan dan mati sebelum ajal. Tapi kalau dia harakah (gerak) terus, Insya Allah hal-hal seperti itu tereliminir. Sayyiatnya ada, tapi tidak mempunyai ruang gerak/marginal.

Setiap kita mempunyai sayyiat, termasuk saya. Tapi dengan kita aktif bergerak terus, melakukan konsoliasi-koordinasi dan mobilisasi kebaikan (hasanat) kita, insya Allah sayyiat kita menjadi marginal/tidak punya ruang gerak. Allah berfirman dalam surat Hud 114, "Innal hasanati yudzhibnas sayyiati, dzalika dzikra lidz dzakirin".

Artinya dengan mengkonsolidasikan, mengkoordinasikan hasanat kita, memobilisir hasanat kita untuk amal jama'i, untuk kebaikan bangsa, kebaikan umat, kebaikan dakwah dan kebaikan jama'ah, akhirnya mengeliminir sayyiat kita. Tapi kalau fokus kita na'udzubilLah, kepada sayyiat kita, akhirnya yang terjadi adalah gunjingan, fitnah, ghibah. Karena ketika orang dituduh jelek, maka akan terjadi resistensi, akan melawan, mengcounter. Pada akhirnya terjadi adu isu, adu gosip, bahkan bisa sampai timbul faksi-faksi, kelompok-kelompok perlawanan satu sama lain. Tapi ketika kita mengkonsolidasikan atau pusat fokus kita pada konsolidasi-koordinasi dan mobilisasi kebaikan (hasanat) kita, maka sayyiat nya tersisihkan.

Makanya banyak perintah Allah yang di ujungnya adalah yukaffir 'ankum sayyiatikum wa yaghfirlakum dzunubakum. Artinya kalau kita aktif melaksanakan perintah-perintah Allah, maka akan ada takfirus say'iat. Takfir itu bukan menghapuskan. Kafara itu artinya menutup. Artinya sayyiat yang tadinya mempunyai ruang bebas (ruang gerak) ditutup. Dalam ilmu bahasa ada kalimat kafara-kafiru-kufran, artinya seorang petani menutup lobang tempat menanam benih. Jadi _kafara_ itu bukan menghapus. Yukaffir 'ankum sayyiatikum, kejelekan-kejelekan (potensi negatif) kita ditutup oleh Allah. Tidak diberi ruang gerak. Dia ada tapi tidak eksis. Tidak ada ruang untuk mengekspresikan dirinya. Tidak ada ruang untuk mengartikulasikan sayyiatnya. Yaghfirirlakum dzunubakum, mungkin sebagai manusia ada sayyiat yang pernah diturutkan oleh kita secara sengaja atau tidak. Itu akan diampuni oleh Allah SWT. saat kita melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Itulah peran al-mushlihun.

Akhirnya, dengan bahasa awam, adanya mushlihun itu merupakan tolak bala bagi bangsa. Bahasa yang lebih keren, mushlihun itu adalah stabilisator dan dinamisator di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan, kita sebagai kader-kader dakwah, perannya harus sangat efektif, sangat menonjol, sangat terasa. “Innallaha la yaza'u bissulthani ma la yaza'u bil Qur'an". Allah bisa mengendalikan/menghentikan sesuatu dengan kekuasaan, yang tidak bisa dihentikan melalui Al-Our'an. Itulah peran sebagai kader-kader dakwah yang ada di lembaga penyelenggaraan negara, terutama di eksekutif dan di legislatif.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Tim Media PUI
Copyright © 2009. PUI - Persatuan Ummat Islam - All Rights Reserved