Al-Quran Surat Hud ayat 117 menyebutkan, "wa ma
kanallahu liyuhlikal qura bi dzulmin wa ahluha mushlihun" Allah
sekali-kali tidak akan menghancurkan suatu negeri, bangsa, umat, atau kaum,
dengan kezaliman-kezaliman yang diperbuatnya sementara di tengah-tengah mereka
masih ada orang-orang yang melakukan langkah-langkah ishlah/ mushlih.
Mushlih itu asal katanya dari ashlaha, berkembang dari
tsulalsi mujarrad
shalaha. Kalau shalaha pelakunya
shalih. Kalau ashlaha pelakunya itu mushlih. Dia lebih proaktif. Kalau shalih itu
baik untuk dirinya sendiri (shalihun li nafsihi), tapi kalau mushlih itu
shalihun li nafsihi wa mushlihun li ghairihi (baik bagi dirinya dan bagi
orang lain).
Sayyid Qutb Rahimahullah merumuskan al-mushlihun dalam
tafsirnya Fi Zhilal al-Qur'an: "al-mushlihuna hum al-ladzina 'indahum
qudrah yashuddu biha al-'adzabu wa al-fasad" Al-mushlihun adalah orang
yang mempunyai kekuatan, kemampuan untuk bisa menolak dengan kekuatannya itu
kezaliman dan kerusakan." Itulah mushlihun,
yang mungkin kelihatannya hanya dari aspek nahi munkar saja. Ini tafsir Sayyid
Qutb.
Pada hakekatnya amar ma'ruf nahi munkar itu tidak punya
batas. Begitu kita daf'ud dharar (menolak bahaya), otomatis juga jalbul
mashalih
(mendatangkan maslahat). Begitu kita jalbul mashalih, memberikan
kebaikan (al-hasanat), otomatis daf'us sayyiah (menolak
kejahatan). Jadi walaupun Sayyid Qutb mengatakan orang yang mushlih itu
mempunyai kekuatan unuk menolak kezaliman, ketika peluang dan ruang gerak
kezaliman dan kerusakan itu ditolak maka justru memperluas ruang gerak
al-hasanat. Dalam Ushul Fiqih para ulama sepakat, "daf'ud dharari
muqaddamun 'an jalbil mashalih".
Orang shalih (orang baik) tapi tidak mempunyai kekuatan daf'ud
dharar-daf'ud dzulma wal mafasid, dia hanya menjadi shalihun li nafsihi.
Bukan mushliltun li ghairihi. Yang, karena kondisi pasif itu, kadang-kadang
seperti yang dikisahkan dalam hadist qudsi, ketika Allah SWT. memerintahkan
malaikat untuk mengadzab suatu kaum. Kata malaikat, "Ya Rabb (wahai Allah)
di negeri itu ada rajulun 'abidun shalih, seorang hamba yang selalu
beribadah dan orang shalih." Tapi kata Allah, "Fabda' bihi"
(mulailah adzabnya dari dia). Padahal dia shalih li nafsihi.
Konsiderannya, kata Allah, karena dia tidak pernah memerah (merah wajahya),
tidak pernah ghadhab fillah
(marah demi Allah). Melihat kemungkaran dan kedzaliman hanya berdzikir saja.
Oleh karena itu, kata Allah, fabda' bihi, mulailah adzabnya dari
dia. Na'udzubillah.
Karena kita makhluk sosial, maka masing-masing kita
mempunyai tanggung jawab sosial. Kita masuk ke surga karena memperjuangkan
kebaikan bersama. Kalau mau baik sendiri, egoistis, na'udzubilLah
akhiraya kita tidak masuk surga. Seperti rajulun 'abidun shalih tadi.
Karena ada kezaliman, kerusakan, dia tidak peduli. Masih hidup di dunia sudah
memakai dalil akhirat (nafsi-nafsi). Nafsi-nafsi itu bahasa akhirat, di hari
kiamat nanti. Setiap kita akan berkata nafsi-nafsi. Surat Abasa: 34-36: Yawma
yafirrul mar-u min akhihi, wa ummihi wa abihi, wa shahibatihi wa banihi.
Semua akan menghindar dari ayah-ibunya, dari istrinya dan dari anaknya. Bahkan
dari cucunya wa fashilatihi wabanihi. Anak-cucu akan menghindar semua.
Nafsi-nafsi itu kehidupan di akhirat ketika hari kiamat,
ketika menghadapi muhasabah. Kalau kita di dunia menerapkan hidup nafsi-nafsi,
artinya kita sudah mati sebelum ajal. Karena sudah mati sebelum ajal, biasanya
bau. Bau mulutnya, suka bikin fitnah, isu, gosip. Kadang-kadang menyebarkan
fitnah, isu, gosip itu didukung teknologi, dengan memakai SMS menyebar ke
mana-mana. Orang seperti itu biasanya orang yang kurang kerjaan dan mati
sebelum ajal. Tapi kalau dia harakah (gerak) terus, Insya Allah hal-hal seperti
itu tereliminir. Sayyiatnya ada, tapi tidak mempunyai ruang gerak/marginal.
Setiap kita mempunyai sayyiat, termasuk saya. Tapi dengan
kita aktif bergerak terus, melakukan konsoliasi-koordinasi dan mobilisasi
kebaikan (hasanat) kita, insya Allah sayyiat kita menjadi marginal/tidak punya
ruang gerak. Allah berfirman dalam surat Hud 114, "Innal hasanati
yudzhibnas sayyiati, dzalika dzikra lidz dzakirin".
Artinya dengan mengkonsolidasikan, mengkoordinasikan
hasanat kita, memobilisir hasanat kita untuk amal jama'i, untuk kebaikan
bangsa, kebaikan umat, kebaikan dakwah dan kebaikan jama'ah, akhirnya
mengeliminir sayyiat kita. Tapi kalau fokus kita na'udzubilLah, kepada sayyiat
kita, akhirnya yang terjadi adalah gunjingan, fitnah, ghibah. Karena ketika
orang dituduh jelek, maka akan terjadi resistensi, akan melawan, mengcounter.
Pada akhirnya terjadi adu isu, adu gosip, bahkan bisa sampai timbul
faksi-faksi, kelompok-kelompok perlawanan satu sama lain. Tapi ketika kita
mengkonsolidasikan atau pusat fokus kita pada konsolidasi-koordinasi dan
mobilisasi kebaikan (hasanat) kita, maka sayyiat nya tersisihkan.
Makanya banyak perintah Allah yang di ujungnya adalah yukaffir
'ankum sayyiatikum wa yaghfirlakum dzunubakum. Artinya kalau kita aktif
melaksanakan perintah-perintah Allah, maka akan ada takfirus say'iat. Takfir
itu bukan menghapuskan. Kafara itu artinya menutup. Artinya sayyiat yang
tadinya mempunyai ruang bebas (ruang gerak) ditutup. Dalam ilmu bahasa ada
kalimat kafara-kafiru-kufran, artinya seorang petani menutup lobang tempat
menanam benih. Jadi _kafara_ itu bukan menghapus. Yukaffir 'ankum sayyiatikum,
kejelekan-kejelekan (potensi negatif) kita ditutup oleh Allah. Tidak diberi
ruang gerak. Dia ada tapi tidak eksis. Tidak ada ruang untuk mengekspresikan
dirinya. Tidak ada ruang untuk mengartikulasikan sayyiatnya. Yaghfirirlakum dzunubakum,
mungkin sebagai manusia ada sayyiat yang pernah diturutkan oleh kita secara
sengaja atau tidak. Itu akan diampuni oleh Allah SWT.
saat kita melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Itulah peran al-mushlihun.
Akhirnya, dengan bahasa awam, adanya mushlihun itu
merupakan tolak bala bagi bangsa. Bahasa yang lebih keren, mushlihun itu adalah
stabilisator dan dinamisator di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dan, kita sebagai kader-kader dakwah, perannya harus sangat efektif,
sangat menonjol, sangat terasa. “Innallaha la yaza'u bissulthani ma la
yaza'u bil Qur'an". Allah bisa mengendalikan/menghentikan sesuatu
dengan kekuasaan, yang tidak bisa dihentikan melalui Al-Our'an. Itulah peran
sebagai kader-kader dakwah yang ada di lembaga penyelenggaraan negara, terutama
di eksekutif dan di legislatif.
0 komentar:
Posting Komentar