Setelah ummatan wahidah, Istilah lain yang juga mengandung makna masyarakat yang ideal adalah ummatan wasathan. Istilah ini antara lain terulang dalam firman Allah dalam Al-Qur'an Surah al-Bagarah/2: 143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Dan demikan Kami telah menjadikan kalian, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi/patron atas manusia dan agar rasul menjadi saksi atas kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kalian (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Lihat
Tafsir Kementerian Agama tentang QS. Al-Baqarah ayat 143
Tafsir Al-Barru tentang QS. Al-Baqarah ayat 143
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kualifikasi umat yang baik adalah ummatan wasathan. Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sin dan tha' yang bermakna dasar: pertengahan atau moderasi, yang memang menunjuk pada pengertian adil. Al-Raghib mengartikan bebagai sesuatu yang berada di pertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama.
Kata wasath dengan berbagai perubahannya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak lima kali, semuanya menunjuk arti pertengahan. Di samping QS. al-Baqarah/2: 143 sebagaimana telah disebut di atas, keempat ayat lainnya adalah QS. al-'Adiyat/100: 5, QS. al-Maidah. 5: 89, QS. al-Qalam/68: 28 dan QS. al-Baqarah/2: 238.
"Saling peliharalah dengan sungguh-sungguh segala salat dan (demikian juga) salat wustha. Laksanakanlah secara sempurna lagi bersinambung dan khusyu' karena Allah."
Para ulama berbeda pendapat tentang salat wustha. Ibnu Katsir dengan panjang lebar menjelaskan berbagai macam pendapat tersebut. Shalat wustha oleh sementara ulama dipahami dalam arti salat yang bilangan rakaatnya pertengahan yaitu Magrib. Jumlah raka'at Magrib adalah tiga, pertengahan antara Subuh dan Isya' serta 'Asar.
Ada yang memahami sebagai salat Magrib, dengan alasan bahwa salat tersebut adalah salat pertengahan dari segi diwajibkannya. Yang pertama kali diwajibkan adalah salat Zuhur kemudian 'Asar, Magrib, Isya' dan Subuh. Pertengahannya adalah Magrib. Ada juga yang memahami pertengahan hari. Perhitungan hari dalam Islam dimulai waktu Magrib sehingga pertengahannya adalah Subuh. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Malik dan Imam Syafi'i.
Jumhur ulama menyatakan bahwa shalat wustha adalah salat 'Asar, yang dikuatkan dengan beberapa hadis Nabi Saw yang dinilai sahih, di samping alasan kebahasaan. Salat 'Asar adalah salat pertengahan antara siang dan malam.
Dari pemaparan makna wasath di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ummatan wasathan adalah masyarakat yang berada di pertengahan dalam arti moderat. Posisi pertengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan di manapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain.
Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasath sebagai justly balanced, yang kemudian diberi komentar bahwa esensi ajaran Islam adalah menghilangkan segala bentuk ekstrimitas dalam berhagai hal. Kata wasath ternyata juga menunjuk pada geografi, yaitu letak geografi tanah Arab menurut Yusuf Ali berada di pertengahan bumi.
Hampir senada dengan pendapat di atas, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim. Ia mencontohkan bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakann karena dorongan hawa nafsu yang menggebu dengan ketidakmampuan melakukan hubungan seksual (disfungsi seksual). Dari situ, kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.
Sementara itu, Muhammad Iqbal menafsirkan istilah wasath atau pertengahan itu sebagai pertengahan antara etika Yahudi yang terlalu legal-formal sehingga cenderung keras, dan etika Nasrani yang terlalu spiritual dan lemah lembut. Seperti halnya cendekiawan lain, ia mengartikan wasath sebagai bagian yang terbaik, yaitu bagian yang berada di tengah-tengah. Ia menyatakan bahwa banyak terjadi, suatu golongan menjadi unggul dalam percaturan politik karena menempatkan diri sebagai golongan yang moderat dan berdiri di tengah-tengah. Pemimpin yang berhasil biasanya adalah yang bisa berdiri di tengah-tengah dan bersikap moderat.
Di Indonesia, di kenal istilah wasit yang memang berakar kata yang sama dengan wasath, yang menghadapi dua pihak yang berseteru dituntut untuk bersikap wasath dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Seorang wasit hanya dapat berperan jika ia bersifat adil. Esensi pekerjaan seorang wasit adalah bertindak adil. Oleh karena itu, hanya dengan bersikap adil saja suatu umat dapat berperan sebagai saksi atas manusia. Dan dengan sifat adil itu pula rasul dapat menjadi saksi atas umatnya.
Muhammad Quthb menampilkan sisi lain dari istilah wasath atau ummatan wasathan. Ia menghubungkannya dengan posisi Islam yang berada di tengah dua sisi ekstrim, kapitalisme dan komunisme. Ia mengemukakan bahwa jika kita memerhatikan tiga sistem kehidupan yang diperjuangkan dewasa ini -sistem kapitalisme, sistem komunis dan Islam- maka kita dapat menjumpai bahwa dalam hal sistem ekonominya, yang berkenaan dengan hak milik pribadi, misalnya, ada hubungan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya.
Sistem kapitalis didirikan di atas konsep bahwa individu adalah suatu makhluk suci yang hak-haknya tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat atau tidak boleh dihalang-halangi kebebasannya. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apa pun. Sebaliknya, sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu adalah pokok yang terpenting, sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai kekuasaan apa pun. Oleh karenanya, komunisme meletak kan seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.
Kedua konsep ini -kapitalis dan komunis- berlainan dengan kossep yang dimiliki oleh Islam, demikian Quthb mengatakan, individu itu serentak mempunyai dua sifat dalam waktu yang bersarnaan, yaiu memiliki sifat sebagai individu yang bebas dan memiliki sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Walaupun kadang-kadang kecenderungan kepada salah satu dari kedua sifat itu melebihi kecenderungan kepada sifat yang lainnya, pada akhirnya ia harus memberikan jawaban yang sama dan seimbang kepada kedua sifat tersebut.
Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori tadi, Al-Qur'an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak pula mempertentangkan antar keduanya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu -yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai nggota masyarakat- itu telah diatur oleh syariat Islam agar memiliki keseimbangan di antara kedua watak tersebut: kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat tetap terpelihara.
Dengan demikian, masyarakat ideal menurut Al-Qur'an adalah masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkeseimbangan. Barangkali inilah sisi lain dari konsep tentang ummatan wasathan. Jadi boleh dikatakan bahwa ciri keunggulan umat atau masyarakat yang diidealkan Al-Qur'an itu adalah sifatnya yang moderat dan berdiri di tengah-tengah.
Ummatan wasathan adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah agar dilihat oleh semua pihak dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian sesuai dengan lanjutan Q.S. al-Baqarah/2: 143 di atas-agar mereka menjadi saksi (syuhada), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan masyarakat ideal pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya hanyut oleh materialisme dan tidak pula menghantarkannya membumbung tinggi ke alum ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala aktivitas.
Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Dan demikan Kami telah menjadikan kalian, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi/patron atas manusia dan agar rasul menjadi saksi atas kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kalian (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Lihat
Tafsir Kementerian Agama tentang QS. Al-Baqarah ayat 143
Tafsir Al-Barru tentang QS. Al-Baqarah ayat 143
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kualifikasi umat yang baik adalah ummatan wasathan. Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sin dan tha' yang bermakna dasar: pertengahan atau moderasi, yang memang menunjuk pada pengertian adil. Al-Raghib mengartikan bebagai sesuatu yang berada di pertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama.
Kata wasath dengan berbagai perubahannya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak lima kali, semuanya menunjuk arti pertengahan. Di samping QS. al-Baqarah/2: 143 sebagaimana telah disebut di atas, keempat ayat lainnya adalah QS. al-'Adiyat/100: 5, QS. al-Maidah. 5: 89, QS. al-Qalam/68: 28 dan QS. al-Baqarah/2: 238.
"Saling peliharalah dengan sungguh-sungguh segala salat dan (demikian juga) salat wustha. Laksanakanlah secara sempurna lagi bersinambung dan khusyu' karena Allah."
Para ulama berbeda pendapat tentang salat wustha. Ibnu Katsir dengan panjang lebar menjelaskan berbagai macam pendapat tersebut. Shalat wustha oleh sementara ulama dipahami dalam arti salat yang bilangan rakaatnya pertengahan yaitu Magrib. Jumlah raka'at Magrib adalah tiga, pertengahan antara Subuh dan Isya' serta 'Asar.
Ada yang memahami sebagai salat Magrib, dengan alasan bahwa salat tersebut adalah salat pertengahan dari segi diwajibkannya. Yang pertama kali diwajibkan adalah salat Zuhur kemudian 'Asar, Magrib, Isya' dan Subuh. Pertengahannya adalah Magrib. Ada juga yang memahami pertengahan hari. Perhitungan hari dalam Islam dimulai waktu Magrib sehingga pertengahannya adalah Subuh. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Malik dan Imam Syafi'i.
Jumhur ulama menyatakan bahwa shalat wustha adalah salat 'Asar, yang dikuatkan dengan beberapa hadis Nabi Saw yang dinilai sahih, di samping alasan kebahasaan. Salat 'Asar adalah salat pertengahan antara siang dan malam.
Dari pemaparan makna wasath di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ummatan wasathan adalah masyarakat yang berada di pertengahan dalam arti moderat. Posisi pertengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan di manapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain.
Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasath sebagai justly balanced, yang kemudian diberi komentar bahwa esensi ajaran Islam adalah menghilangkan segala bentuk ekstrimitas dalam berhagai hal. Kata wasath ternyata juga menunjuk pada geografi, yaitu letak geografi tanah Arab menurut Yusuf Ali berada di pertengahan bumi.
Hampir senada dengan pendapat di atas, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim. Ia mencontohkan bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakann karena dorongan hawa nafsu yang menggebu dengan ketidakmampuan melakukan hubungan seksual (disfungsi seksual). Dari situ, kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.
Sementara itu, Muhammad Iqbal menafsirkan istilah wasath atau pertengahan itu sebagai pertengahan antara etika Yahudi yang terlalu legal-formal sehingga cenderung keras, dan etika Nasrani yang terlalu spiritual dan lemah lembut. Seperti halnya cendekiawan lain, ia mengartikan wasath sebagai bagian yang terbaik, yaitu bagian yang berada di tengah-tengah. Ia menyatakan bahwa banyak terjadi, suatu golongan menjadi unggul dalam percaturan politik karena menempatkan diri sebagai golongan yang moderat dan berdiri di tengah-tengah. Pemimpin yang berhasil biasanya adalah yang bisa berdiri di tengah-tengah dan bersikap moderat.
Di Indonesia, di kenal istilah wasit yang memang berakar kata yang sama dengan wasath, yang menghadapi dua pihak yang berseteru dituntut untuk bersikap wasath dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Seorang wasit hanya dapat berperan jika ia bersifat adil. Esensi pekerjaan seorang wasit adalah bertindak adil. Oleh karena itu, hanya dengan bersikap adil saja suatu umat dapat berperan sebagai saksi atas manusia. Dan dengan sifat adil itu pula rasul dapat menjadi saksi atas umatnya.
Muhammad Quthb menampilkan sisi lain dari istilah wasath atau ummatan wasathan. Ia menghubungkannya dengan posisi Islam yang berada di tengah dua sisi ekstrim, kapitalisme dan komunisme. Ia mengemukakan bahwa jika kita memerhatikan tiga sistem kehidupan yang diperjuangkan dewasa ini -sistem kapitalisme, sistem komunis dan Islam- maka kita dapat menjumpai bahwa dalam hal sistem ekonominya, yang berkenaan dengan hak milik pribadi, misalnya, ada hubungan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya.
Sistem kapitalis didirikan di atas konsep bahwa individu adalah suatu makhluk suci yang hak-haknya tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat atau tidak boleh dihalang-halangi kebebasannya. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apa pun. Sebaliknya, sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu adalah pokok yang terpenting, sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai kekuasaan apa pun. Oleh karenanya, komunisme meletak kan seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.
Kedua konsep ini -kapitalis dan komunis- berlainan dengan kossep yang dimiliki oleh Islam, demikian Quthb mengatakan, individu itu serentak mempunyai dua sifat dalam waktu yang bersarnaan, yaiu memiliki sifat sebagai individu yang bebas dan memiliki sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Walaupun kadang-kadang kecenderungan kepada salah satu dari kedua sifat itu melebihi kecenderungan kepada sifat yang lainnya, pada akhirnya ia harus memberikan jawaban yang sama dan seimbang kepada kedua sifat tersebut.
Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori tadi, Al-Qur'an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak pula mempertentangkan antar keduanya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu -yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai nggota masyarakat- itu telah diatur oleh syariat Islam agar memiliki keseimbangan di antara kedua watak tersebut: kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat tetap terpelihara.
Dengan demikian, masyarakat ideal menurut Al-Qur'an adalah masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkeseimbangan. Barangkali inilah sisi lain dari konsep tentang ummatan wasathan. Jadi boleh dikatakan bahwa ciri keunggulan umat atau masyarakat yang diidealkan Al-Qur'an itu adalah sifatnya yang moderat dan berdiri di tengah-tengah.
Ummatan wasathan adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah agar dilihat oleh semua pihak dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian sesuai dengan lanjutan Q.S. al-Baqarah/2: 143 di atas-agar mereka menjadi saksi (syuhada), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan masyarakat ideal pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya hanyut oleh materialisme dan tidak pula menghantarkannya membumbung tinggi ke alum ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala aktivitas.
Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
0 komentar:
Posting Komentar