Headlines News :
Home » , , , , » Uang Bukan Segalanya; Tiga Resep Peningkatan Kualitas Pendidikan Kita

Uang Bukan Segalanya; Tiga Resep Peningkatan Kualitas Pendidikan Kita

Written By P U I on Kamis, Juni 27, 2013 | 9:46:00 AM

Oleh Dra. Yayah Hidayah M.Si.
(Sekretaris Umum PP Wanita PUI)

Pemerintah sudah memastikan, tahun 2009 mendatang, anggaran pendidikan akan dipenuhi mencapai 20 persen dari total APBN. Ini berarti pemerintah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan pemerintah menyediakan dana pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN.

Tak cuma itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pemerintah akan memberikan tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun. Mari kita hitung. Total belanja negara tahun depan Rp. 1.122,2 triliun, berarti 20 persen darinya adalah Rp. 178,9 triliun. Maka dengan penambahan Rp. 46,1 triliun tadi, jumlah anggaran pendidikan seluruhnya menjadi Rp. 224 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang juga Pelaksana Tugas (PLT) Menko Perekonomian memastikan, alokasi anggaran sebesar Rp. 224 triliun itu sudah termasuk untuk alokasi di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan masuk dalam Dana Alokasi Umum (DAU) di Anggaran Pendapatan Daerah (APBD), serta Dana Alokasi Khusus (DAK).

Tapi, benarkah uang menjadi faktor penentu keberhasilan dan mutu pendidikan kita? Selama ini, anggaran pendidikan sering dituding sebagai penyebab morat-maritnya pendidikan di Indonesia, sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan kita. Betulkah demikian? Apakah dengan uang maka otomatis kualitas pendidikan akan membaik? Ternyata, jawabannya, uang tidak selalu menjamin kualitas pendidikan akan membaik.

Banyak orang berasumsi bahwa kualitas pendidikan dapat diperbaiki dengan uang. Misalnya dengan meningkatkan anggaran pendidikan, seperti yang dilakukan Inggris. Atau bisa juga dengan menyediakan gaji di atas rata-rata untuk profesi guru, dengan maksud agar mendapatkan guru-guru berkualitas, layaknya strategi yang dipakai Amerika. Namun ternyata kedua negara tersebut bukanlah negara-negara dengan prestasi pendidikan tertinggi, setidaknya jika dinilai berdasarkan prestasi murid sekolah dasarnya. Negara-negara terbaik dalam kategori ini adalah Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.

Lantas, apa persamaan strategi yang dipakai oleh kelima negara tersebut? Ternyata, menurut McKinsey perusahaan konsultan yang terbiasa dimintai advis oleh perusahaan dan pihak pemerintahan resepnya hanya tiga :
1.Pastikan anda mendapatkan guru dengan kualitas terbaik,
2.Ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan
terbaiknya,dan
3.Segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka
membutuhkannya.

Resep di atas begitu sederhananya sehingga banyak pihak dengan skeptis bertanya, “Apakah Inggris dan Amerika tidak pernah menerapkannya sebelumnya?” Ternyata memang tidak.

Berkaitan dengan resep nomor satu (pastikan anda mendapatkan guru dengan kualitas terbaik), lagi-lagi ternyata memang uang bukanlah kunci untuk segalanya. Negara Jerman, Spanyol, Swiss menyediakan gaji guru lebih tinggi dari rata-rata, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Sebaliknya, strategi yang dijalankan Singapura dan Finlandia, misalnya, cukup sederhana: jumlah kursi masuk yang tersedia di institusi pelatihan menjadi guru (di Indonesia, dulu disebut IKIP) dibatasi, cukup hanya sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Dengan demikian, saringan masuk menjadi terjaga kualitasnya, para guru yang lulus dari pelatihan tersebut dijamin mendapat pekerjaan, negara tidak perlu menyediakan gaji di atas rata-rata bagi para guru, sementara status profesi guru di masyarakat pun menjadi tinggi.

Sedangkan pada resep nomor dua (ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan terbaiknya), negara Jepang memiliki strategi cukup unik: mereka menyediakan forum antarguru, sehingga mereka dapat bertukar informasi, baik keberhasilan dalam menerapkan tips tertentu dalam mengajar maupun kesulitan praktis yang dihadapi di lapangan. Ini berbeda dengan di Amerika, misalnya, di mana kesuksesan seorang guru yang inovatif tidak menular ke guru-guru lainnya, karena memang tidak ada wadah yang kondusif untuk itu.

Resep yang ketiga (segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka membutuhkannya) diimplementasikan oleh Singapura, misalnya, dengan cara menyediakan kelas khusus bagi para siswa yang performansinya termasuk paling rendah di kelasnya. Dalam kelas-kelas khusus ini, para guru berdedikasi membantu para siswa hingga setelah jam sekolah usai.

Sekali lagi, tiga resep di atas mematahkan asumsi bahwa uang adalah segalanya, termasuk untuk memecahkan lingkar masalah di dunia pendidikan. Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Pertanyaan yang dilontarkan, yaitu “apakah mungkin Indonesia memiliki siswa-siswa yang nomor satu cerdasnya?” bisa dijawab dengan mencoba menilik sejauh mana negara kita telah mencoba menerapkan tiga resep tersebut. Wallahu a’lam
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Tim Media PUI
Copyright © 2009. PUI - Persatuan Ummat Islam - All Rights Reserved