BANDUNG, KOMPAS.com - Pendidikan di Indonesia, pada praktiknya belum mendukung upaya penciptaan insan-insan kreatif. Sekolah saat ini masih menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya eksak atau aspek intelektualitas saja. Kreativitas tidak dihidupkan dalam banyak mata pelajaran, kecuali seni dan estetika. Demikian salah satu pokok persoalan yang mencuat di dalam Diskusi Pemikiran Institut Teknologi Bandung tentang Industri Kreatif yang diadakan Majelis Guru Besar ITB, Senin (25/5). Hasil dari diskusi ini dan berbagai pemikiran para pakar dan praktisi di ITB ini kemudian akan dituangkan di dalam buku tentang industri kreatif.
Persoalan industri kreatif di sektor hulu ini disoroti guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Primadi Tabrani. Ia mengatakan, dalam kurikulum pendidikan saat ini, kreativitas tidak banyak disebut, bahkan belum diberi ruang cukup. Secara turun temurun, pendidikan lebih mementingkan rasio dan hapalan. Siswa sekarang pun di drill (dipaksa) untuk hanya mementingkan mata pelajaran eksak.
"Di MIPA (Matematika dan IPA), aturannya dibuat ketat dan seragam mulai dari aksioma sampai alogaritma. Tidak ada ruang untuk pemikiran alternatif yang di dalamnya menguji kreativitas dan imajinasi," ucapnya.
Menurutnya, proses belajar yang baik bukan mengumpulkan pengetahuan sejak TK-SMA seperti kecenderungan terjadi saat ini.
"Akibatnya saat di SMA, memori sudah penuh. Karena ada ulangan, belajar mati-matian, masih ada yang bisa menembus memori. Tapi, pada saat sama, akan ada yang dikeluarkan. Ya, tidak lain, memori yang tidak bermutu, hapalan," ucapnya.
Pendidikan yang ideal, ucapnya, adalah menuntun anak untuk bisa memecahkan masalah dengan cara mereka masing-masing. Sehingga, bisa tumbuh kreativitas.
"Kalau pendidikan kita tidak banyak memberi ruang kreatif, maka di masa depan, kita akan banyak kekurangan insan-insan kreatif untuk mendukung tumbuhnya industri kreatif," ucapnya.
Mudah-mudahan pula tidak terwujud moto : bangsa yang tidak kreatif akan terlindas sejarah, kritiknya.
Mesti dibenahi
Wakil Ketua Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Indonesia (MIKTI) Andreas Pariyanto sangat menyayangkan kondisi ini. Pendidikan di Indonesia belum memberikan kesempatan yang sama untuk anak mengembangkan kemampuan otak kiri (intelegensia) dan otak kanan (kemampuan seni, imjainasi dan kreativitas). Ini mesti segera dibenahi. "Pendidikan mesti sama-sama memberi ruang berkembangnya otak kiri dan kanan seperti anak-anak di masa kecil," ujarnya.
Pengamat budaya dari ITB Yasraf Amir Piliang mengatakan, macetnya kreativitas bisa disebabkan banyak faktor, baik kebiasaan individual atau sebaliknya terlalu kolektif, pengetahuan yang minim, atau lingkungan sosial dan kultur yang tidak mendukung.
Dari sekian banyak faktor, ia menekankan pentingnya faktor lingkungan atau komunitas. Amir meyakini, keberhasilan industri kreatif lebih ditentukan masyarakat atau komunitasnya, ketimbang individu-individu yang brilian.
Persoalan industri kreatif di sektor hulu ini disoroti guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Primadi Tabrani. Ia mengatakan, dalam kurikulum pendidikan saat ini, kreativitas tidak banyak disebut, bahkan belum diberi ruang cukup. Secara turun temurun, pendidikan lebih mementingkan rasio dan hapalan. Siswa sekarang pun di drill (dipaksa) untuk hanya mementingkan mata pelajaran eksak.
"Di MIPA (Matematika dan IPA), aturannya dibuat ketat dan seragam mulai dari aksioma sampai alogaritma. Tidak ada ruang untuk pemikiran alternatif yang di dalamnya menguji kreativitas dan imajinasi," ucapnya.
Menurutnya, proses belajar yang baik bukan mengumpulkan pengetahuan sejak TK-SMA seperti kecenderungan terjadi saat ini.
"Akibatnya saat di SMA, memori sudah penuh. Karena ada ulangan, belajar mati-matian, masih ada yang bisa menembus memori. Tapi, pada saat sama, akan ada yang dikeluarkan. Ya, tidak lain, memori yang tidak bermutu, hapalan," ucapnya.
Pendidikan yang ideal, ucapnya, adalah menuntun anak untuk bisa memecahkan masalah dengan cara mereka masing-masing. Sehingga, bisa tumbuh kreativitas.
"Kalau pendidikan kita tidak banyak memberi ruang kreatif, maka di masa depan, kita akan banyak kekurangan insan-insan kreatif untuk mendukung tumbuhnya industri kreatif," ucapnya.
Mudah-mudahan pula tidak terwujud moto : bangsa yang tidak kreatif akan terlindas sejarah, kritiknya.
Mesti dibenahi
Wakil Ketua Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Indonesia (MIKTI) Andreas Pariyanto sangat menyayangkan kondisi ini. Pendidikan di Indonesia belum memberikan kesempatan yang sama untuk anak mengembangkan kemampuan otak kiri (intelegensia) dan otak kanan (kemampuan seni, imjainasi dan kreativitas). Ini mesti segera dibenahi. "Pendidikan mesti sama-sama memberi ruang berkembangnya otak kiri dan kanan seperti anak-anak di masa kecil," ujarnya.
Pengamat budaya dari ITB Yasraf Amir Piliang mengatakan, macetnya kreativitas bisa disebabkan banyak faktor, baik kebiasaan individual atau sebaliknya terlalu kolektif, pengetahuan yang minim, atau lingkungan sosial dan kultur yang tidak mendukung.
Dari sekian banyak faktor, ia menekankan pentingnya faktor lingkungan atau komunitas. Amir meyakini, keberhasilan industri kreatif lebih ditentukan masyarakat atau komunitasnya, ketimbang individu-individu yang brilian.
0 komentar:
Posting Komentar